6. Interrogation

1.3K 182 9
                                    

Keesokan harinya Lavi bangun pada tengah hari. Melihat ke samping, dia tidak bisa menemukan kehadiran Arsen di sana meski pria itu tidak membiarkannya pergi sendiri sejak kemarin. Dia menyadari bahwa ada campuran ramuan yang diresepkan di dekat tempat tidurnya. Lavi menghela napas dan membalikkan posisi tidurnya ke punggungnya.

Kekuatannya belum pulih sepenuhnya dan dia masih merasa pusing dari waktu ke waktu. Kalau tak salah ingat, racun di tubuhnya tidak memiliki komposisi yang berbahaya dan tidak memiliki efek yang bertahan lama. Berapa lama dia harus meminum ramuan yang memiliki bau menyengat ini? Ramuan itu tampaknya hanya menyembuhkan lukanya, tetapi kekuatannya masih belum kembali sama sekali.

Tiba-tiba pintu kamarnya bergeser perlahan, dan dia melihat separuh tubuh Arsen menyembul, mulutnya masih berbicara dengan seseorang di luar, dan detik berikutnya dia akhirnya masuk. Pria pirang itu sangat tampan dalam balutan kain tipis pakaian khas Banditi berwarna hitam dengan gambar acak yang memenuhi motifnya.

Lavi menatapnya dengan wajah mengantuk.

"Kau sudah bangun," Arsen mendekat dan duduk di lantai. "Ayahku ingin bertemu denganmu."

Lavi mengerutkan kening.

Empat hari istirahat membuatnya lupa bahwa dia harus melakukan apel pagi dan memimpin latihan prajurit istana secara teratur. Tuan Besar pasti ingin menegurnya karena kelalaiannya.

Tapi kemudian dia mendengar Arsen berkata lagi, "Sepertinya kau harus menemui mereka juga."

"Mereka?"

"Tiga tetua."

Jantungnya segera berdegup kencang seolah-olah dipukul oleh ratusan kayu. Kemudian dia bergegas berdiri dan tanpa sengaja tersandung selimut tebalnya yang menjuntai. Jika Arsen tidak menangkap tubuhnya pada waktu yang tepat, dia mungkin bisa membuat lukanya kembali terbuka.

"Kenapa kau begitu terburu-buru?!"

Tangan Arsen yang memegang lengan Lavi dengan cepat mengendur, tiba-tiba menjadi tenang dan kembali duduk di lantai.

"Apakah kau baik-baik saja?"

"Kenapa kau tidak membangunkanku lebih awal?" Lavi menjawab dengan pertanyaan lain, sama sekali tidak peduli bagaimana dahi Arsen mengerut begitu dalam sehingga menyebabkan beberapa kerutan di matanya. "Aku harus memberikan pelatihan khusus kepada para prajurit. Aku tidak pernah terlambat."

Lavi merasa kalimatnya sangat mengintimidasi dan Arsen tidak pantas menerimanya, lalu dia menutup mulut.

"Lalu kenapa jika kau terlambat? Kau bisa memberi mereka alasan bahwa kau masih terluka."

Lavi bergumam, menanggapi dengan tidak tertarik. Apalagi pada kalimat Arsen yang berkata dirinya masih terluka. Lavi tidak suka dianggap lemah. Jadi dia menarik satu pakaian dan celana biru tua dari lemari, melepaskan pakaian tidurnya buru-buru dan melemparkannya ke dalam keranjang. Arsen menahan napas, kaget melihat punggung Lavi.

"Apa yang terjadi dengan punggungmu?"

Lavi tidak sadar Arsen masih ada di sini, membuatnya menunjukkan bekas luka di punggungnya. Luka yang mengerikan.

Dia segera berbalik, wajahnya menegang. "Tidak apa-apa."

Arsen tidak percaya. Lukanya terlihat panjang dan parah, memanjang dari bahu kanan hingga pinggang kirinya, tetapi tampaknya telah mengering dan mungkin tidak sakit lagi.

"Tapi luka itu terlihat sangat buruk," balas Arsen.

"Ini tidak seburuk yang kau pikirkan, jadi bisakah kau berhenti bicara?"

Kamarnya kecil, tidak memiliki banyak barang tapi semuanya tertata rapi dan berjajar dengan baik. Ruangan itu begitu sempit, luka di punggungnya tampak begitu jelas. Bagaimana Arsen tidak melakukan apa-apa tanpa bertanya?

BLACK MASK [Dalam Revisi]Onde histórias criam vida. Descubra agora