17. Sense of Warmth

767 104 11
                                    

Di koridor istana Bathara yang menuju ke paviliun peristirahatan penguasa klan, Rory Giyote melangkah dengan cepat. Pintu geser dibuka perlahan dengan derit ringan pintu, sesegera itu dia membungkuk hormat. Beberapa gulungan kertas yang berisi daftar nama para tahanan yang berhasil kabur diberikan langsung pada Davion.

"Aku sudah memisahkan beberapa data yang kau minta, Tuanku. Ada sekitar tujuh orang pria yang memiliki rambut panjang dan berkuncir. Mereka adalah buronan yang melakukan pemberontakan dalam masa-masa yang berbeda. Mereka ditangkap dalam waktu yang berbeda pula."

Davion tidak menoleh sama sekali pada Rory, tangannya dengan gesit memeriksa dokumen yang berisi profil dengan foto para tahanan yang ada di Penjara Bawah Tanah di istana Bathara. Dan mereka juga yang kabur karena ulah Nero.

Sebagian dari nama-nama itu ada beberapa yang dikenal oleh Davion, dia menaruh perhatian lebih pada mereka. Mereka semua kemungkinan adalah orang yang ada di balik topeng Nero yang melakukan penyerangan di istananya dan menculik Lavi.

Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya dan menatap Rory. "Apakah Kiril sudah kembali?"

"Belum," jawab Rory cepat.

"Kalau begitu kirimlah surat untuknya. Suruh dia secepatnya pergi ke kerajaan besar tetua."

Kerajaan besar tetua juga merupakan tempat di mana pasukan kemiliteran berada. Rory ingin bertanya ada apa, namun dia tidak mungkin melakukannya sekarang. "Dimengerti, Tuan Besar. Apakah ada hal yang lain lagi?"

"Kirim ahli pedang lain untuk mencari keberadaan Arsen, bawa juga Dante bersama. Dia yang paling akrab dengan anak itu."

Rory tidak langsung menjawab.

"Itu saja. Kau boleh pergi, Rory."

****

Sedangkan di balik pohon tinggi besar berdiameter sekitar 700 cm, dua orang berdesakan untuk menyembunyikan tubuh. Posisi itu terlihat seperti saling melilit satu sama lain. Tangan besar Arsen tampak sedang memeluk Lavi, pada dasarnya itu memang memeluk, sekaligus untuk menahan tubuhnya dari ranting pohon tajam.

Lavi sangat kooperatif untuk tidak membuat gerakan, tapi dia tetep berkata, "Lepaskan tanganku."

Kata-kata itu mengubah sedikit atensi Arsen yang waspada, dan mereka saling bertatapan. Karena Arsen lebih tinggi jadi pandangannya menunduk rendah, ekspresinya berubah sedikit. Dalam keheningan, genggaman Arsen justru dipererat, kemudian dia menarik Lavi ke dadanya dengan sikap acuh tak acuh.

Lavi mencengkeram tas kainnya secara naluriah.

Arsen berbisik terburu-buru, "Kita harus segera pergi dari sini."

"Lepaskan dulu tanganku. Itu sakit."

Keduanya sangat dekat, saling berbagi sentuhan satu sama lain, bahkan pipi mereka hampir menempel. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Lavi berbohong. Posisi ini tidak membuatnya merasa nyaman.

Segera setelahnya, kepala Arsen mundur sedikit sehingga mereka hampir kembali bertatapan tapi Lavi segera memalingkan wajah terlebih dahulu. "Kita hanya harus berlari, mengapa bersembunyi terus?"

"Mereka memanggil bala bantuan, ada banyak dari mereka yang berpencar," kata Arsen dengan suara berat yang tenang.

"Benarkah?"

BLACK MASK [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang