13. Smiling Face by Default

39.4K 6.2K 346
                                    

Holaaa....

🌜🌛

Frisya menatap uluran tangan itu. Juga wajah Leo yang seperti berharap. Sampai detik ini Frisya tidak tahu apa yang membuat Leo sebegitu gencar memproklamirkan bahwa lelaki itu tertarik padanya.

Tertarik.

Itu tidak cukup. Frisya butuh seseorang yang lebih dari tertarik padanya. Tentu saja tidak akan ia dapatkan dari Leo yang kelihatan main-main dengan kata komitmen bahkan pernikahan. Dugaan paling mendasar adalah Leo sama saja dengan lelaki lain. Cepat bosan. Bedanya, Leo melakukannya dalam ikatan pernikahan.

Sekali lagi ditatapnya uluran dengan telapak tangan menghadap atas, seolah menunggu tangan Frisya jatuh di atasnya dan saling menggenggam. Sayangnya yang dilakukan Frisya tidak begitu. Ia mengulurkan tangan dan menjatuhkan tepat di atas telapak Leo sembari mendorong pelan ke bawah. Saat tangan Leo sudah mendarat di meja gazebo, Frisya melepas. Detik itu juga Leo menunduk, menatap tangannya yang kini kosong dan dijatuhkan.

"Maaf, Pak," ujar Frisya pelan, menyadari raut kecewa Leo. "Saya beneran nggak bisa. Tolong hargai keputusan saya."

Untuk kedua kali, Frisya melihat wajah Leo begitu pias. Hampir mirip saat di Bandung tempo lalu. Ia jadi percaya bahwa Leo benar-benar berniat serius dengannya. Tapi atas alasan apa bisa secepat itu?

"Nggak ada jalan tengah, ya?" tanya Leo dengan nada pelan. Tidak ada lagi senyum, setipis apa pun.

Frisya menggeleng. "Bapak nggak akan bisa nunggu sampai dua tiga tahun ke depan kan?"

Leo menatap Frisya intens. Baru pertama kali ia melakukan itu. "Maybe."

Frisya mengembuskan napas sedikit keras. Lega walau sedikit sakit. Tadi Leo menggebu bilang bisa menunggu walau sekeras apa pun penolakannya. Saat ia memastikan sekali lagi dan jawaban Leo meragukan harusnya membuat Frisya makin yakin kalau Leo tidak bisa menunggunya kan? Kenapa hatinya sedikit tercubit?

"Nggak ada jalan tengah. Udah seharusnya Bapak cari perempuan lain yang udah siap untuk ke arah sana."

Leo mengangguk kaku. Satu kali. Ia lalu berdehem. "Saya antar?"

Frisya mengedikkan bahu. "Kalau Bapak nggak sibuk." Sebagai permintaan maaf. Terakhir kali ini sepertinya Leo sudah benar mengerti.

"Justru karena saya sering lebih sibuk dari ini. Makanya mumpung sekarang ada waktu."

Frisya memutar bola matanya mendengar itu. Ia memang percaya seorang Leo lebih sering sibuk daripada tidaknya. Tapi mendengar itu dari mulut Leo rasanya menyebalkan. "Terserah, Pak."

Leo terkekeh. Lelaki itu seperti sudah lupa pernah kecewa detik sebelumnya. Ekspresi mukanya kembali seperti biasa. Smiling face by default. Dari orok kayaknya. Kalau Frisya pasti jutek by default.

"Stop, Pak. Saya bisa buka pintu sendiri. Saya bukan tokoh di film atau novel-novel yang nggak bisa buka pintu mobil!"

Leo kembali tertawa saat sudah sampai di pintu penumpang. "Saya cuma mau ngecek pintunya macet atau nggak."

"Alibi!" teriak Frisya kesal yang dibalas dengan kekehan Leo. Mobil semahal itu jelas jarang bermasalah. Kalaupun lecet dikit pasti Leo tidak akan membiarkannya berlama-lama. Langsung dibenerin saat itu juga.

"Beneran ke rumah temen kamu?"

Cerewet, batin Frisya. Tapi memutuskan menanggapinya dengan anggukan.

Suasana mobil hanya diisi radio saluran lokal yang menyiarkan berita lokal juga. Frisya ingat Leo pernah berjanji tidak akan menemuinya. Tapi sekarang berbeda karena memang Frisya yang memintanya. Laki-laki itu ternyata terpercaya juga.

Duda Ting TingUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum