23. bingungjudul

32.5K 5.2K 446
                                    

"Gue bawain nasi kebuli nih."

Frisya menatap sekotak tempat makan berwarna putih. Ia menoleh. Bayu baru saja menarik kursi dan duduk di sebelahnya.

"Apa?" tanya Frisya tidak mengerti.

"Buat lo. Katanya suka nasi kebuli."

"Siapa yang bilang?" Perasaan, tidak banyak yang tahu makanan kesukaannya karena ia juga sebenarnya tidak pilih-pilih makanan.

Bayu garuk-garuk kepala sambil melirik Anin dengan pelototan. Sial, kayaknya Anin mengerjainya.

"Usaha lo kurang keliatan, Bay," decak Febi sambil mengunyah baksonya.

"Ya elah." Bayu menyeruput minumannya. "Gue pikir lo belum makan, Fris. Dari tadi diem mulu."

Anin yang duduk tepat di depan Frisya, hanya dibatasi meja panjang, menyeletuk, "Lagi galau kayaknya."

"Oh ya?" Bayu menumpukan siku kanannya di meja sebelum menyangga kepala dengan tangan, menghadap Frisya. "Gue mau jadi tempat pelampiasan kalo lo galau."

"Astaga, rendah banget harga lo, Bay." Anin ngakak.

"Katanya suruh diliatin usahanya." Bayu kembali duduk tegak. Ia menyorongkan kotak makan lebih dekat ke Frisya. "Beneran buat lo. Makan gih. Suntuk banget keliatannya."

Frisya menunduk lagi, menatap kotak makan yang kini sudah dibuka oleh Bayu. Ia tidak nafsu makan. Saat teman-temannya memesan makanan sepuasnya di kantin Air Bad di Sabtu yang cerah tak secerah hati Frisya, ia justru memilih air mineral doang. Padahal belum sempat sarapan juga.

Ngomong-ngomong, hari itu mereka tidak ke ruang produksi sama sekali. Ada sebuah aula pertemuan sebagai acara penutup antara kampusnya dan perusahaan Air Bad. Leo tidak ada tadi. Diwakili oleh siapa entah, Frisya lupa karena tidak fokus.

Belum lagi saat mereka tadi berjalan ke kantin, Frisya lihat Leo berjalan dengan wanita yang masih sama. Juga dengan senyum ramah tamah yang sama. Kalau hanya rekan kerja, kenapa Leo membiarkan wanita itu menggandeng lengannya, ya? Apa tidak malu dilihat banyak karyawan yang dilewati?

"Btw, tadi lo dianter siapa, Fris?" tanya Bayu lagi.

Frisya tersadar. Kacau, ia benar-benar tidak fokus sekarang. "Abang gue," jawab Frisya sekenanya. Ia mengucapkan terima kasih ke Bayu saat mulai menyuap. Padahal ia memang suka nasi kebuli, cuma heran aja siapa yang ngasih tahu Bayu.

"Sumpah Abang lo? Aaaaaakkk!" teriak Febi histeris. Sampai berdiri dan membawa mangkuk baksonya lalu duduk di sebelah Frisya. "Lo mau nggak kalo gue jadi ipar lo?"

"Udah nikah woy!" Anin melempar tisu ke arah Febi.

Tatap Febi tidak surut, semangatnya masih menggebu membuat Frisya hampir tertawa. "Kalo mau nambah bini kedua, gue siap, kok."

"Nggak!" tolak Frisya mentah-mentah. "Gue nggak mau nambah kakak ipar. Udah cukup satu dan baik banget. Lo nggak usah berharap, Feb. Kalo lo niat jadi pelakor, mending kita nggak usah temenan."

Febi langsung cemberut. "As always, mulut lo pedes banget. Baksonya sampe insecure kalah pedes."

Frisya berdecak. Ada-ada aja ni bocah.

"Obrolan nggak berbobot. Mending gue pulang."

Ucapan dari seseorang yang duduk di samping Anin terdengar. Semua menoleh ke asal suara. Ratu baru saja memberesi bawaannya dan berdiri.

"Jangan pulang dulu, elah," cegah Bayu. Ia sampai berdiri. "Hargain yang lain lagi makan. Kita ke sini bareng, pulangnya juga harus bareng."

Ratu berdecak sebal. Bibir menornya sampai terlihat sangat tebal, makin tebal karena warna merah menyala yang dioleskan. "Ngobrolinnya yang agak berbobot, kek. Frisyaaaa mulu."

Duda Ting TingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang