30. Gila (?)

34.6K 5.1K 479
                                    

Masih diam.

Frisya yang menunduk menggerakkan satu kakinya di tanah seolah menunjukkan keresahannya, sedangkan Leo memperhatikan tiap gerakan Frisya dengan saksama. Pertama kali ia menyadari Frisya gelisah dari caranya duduk.

Bagi Leo, Frisya selalu terlihat tidak peduli dengan sekitar. Sekali diusik, aura mengintimidasinya akan keluar. Tapi sekarang yang didapatinya berbeda. Apa Leo sudah segitu parah menyakiti perempuan di sebelahnya ini?

"Fris."

Hanya satu penggalan kata sanggup membuat Frisya tersentak. Leo tidak tahu efeknya akan seperti itu.

"Kamu nggak apa-apa?" Ketimbang bertanya hal lain, Leo justru khawatir dengan bagaimana cara Frisya merespons panggilannya tadi.

"Nggak apa-apa?" Frisya balik bertanya. Suaranya masih tenang. Hanya saja tatapnya tidak menunjukkan emosi sama sekali.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Leo lontarkan. Memangnya apa lagi? Ia sudah sangat jelas melakukan kesalahan. "Perasaanku masih sama ke kamu."

Frisya menarik satu sudut bibirnya ke atas, menampilkan senyum sinis. "Penting?"

Leo ikut tersenyum, walau tidak sama seperti apa yang Frisya berikan padanya. Bisa berbicara dengan Frisya sudah membuatnya bahagia. Andai ia tidak melakukan kesalahan itu, pasti sekarang sudah ia dekap Frisya erat-erat, menggumamkan kalimat sayang yang bahkan ia tidak ingat pernah mengatakannya atau belum ke Frisya.

Pernah, satu kali. Saat perpisahan itu.

"Aku salah." Leo mengatakannya dengan pelan. Suaranya bahkan sangat lembut. "Tapi aku berusaha perbaiki. Aku nggak pernah mengiyakan permintaan perempuan lain lagi sejak itu. Aku belajar."

"Terlambat banget," ujar Frisya sambil mendengus. Tatapnya terarah ke Leo lagi. "Aku pikir kamu ke sini mau memperjelas kalau hubungan kita berakhir. Oke, kalau kamu nggak ngomong itu, biar aku yang memperjelas ini semua."

"Frisya." Leo menahan sebelum Frisya berbicara tentang perpisahan. Selalu menakutkan baginya. Yang sebelum ini juga masih terngiang jelas dan Leo tidak mau mendengarnya lagi. "Kali ini aku serius."

"Oh, jadi yang kemarin itu hubungan kita nggak serius?"

Leo mengusap wajah dengan gusar. Tidak bisa dibilang tidak serius. Ia tertarik dengan Frisya dari awal. Dulu memang hanya tentang fisik. Memang apa lagi yang bisa dilihat dari cinta pandangan pertama selain itu?

Tapi setelah dijalani, apalagi sejak mendengar Frisya sekadar sakit ringan saja membuatnya teramat khawatir. Perasaan sayangnya makin merimbun saat tahu bahwa nyatanya Frisya tidak sekuat yang terlihat. Ia ingin melindungi, jadi laki-laki yang bisa dipercaya Frisya untuk menjaga.

"Aku selalu serius kalau itu tentang kamu." Jawaban yang klise, tapi Leo memang mengatakannya sungguh-sungguh.

Frisya terkekeh. Kali ini ia menghadap depan. Jalanan perumahan yang lengang. "Aku bener-bener nggak tahu hubungan yang serius versi orang dewasa tuh gimana." Ia mengedikkan bahu pelan. "Menurut kamu, aku kekanakan, ya?"

Leo menggeleng kuat.

"Aku selalu mikir gitu." Frisya kembali berujar. Menghadapi Leo kali ini mungkin memang tidak boleh dengan kata-kata kasar. Ia ingin mengakhiri semua dengan baik-baik. "Soalnya aku nggak bisa nerima pasanganku digandeng sama perempuan lain, apalagi mantannya. Lebih pilih mantannya daripada pasangan sendiri. Aku nggak bisa nerima disama-samain dengan orang lain. Apa yang kamu lakuin ke aku sama kayak ke mantanmu sebelumnya. Padahal kami beda. Harusnya kamu tahu. Oh, atau mungkin kamu cuma sadar satu hal yang beda dari kami. Dia lebih segalanya daripada aku." Frisya bersandar di bangku, geleng-geleng kepala. "Andaikan aku bisa secantik dan seanggun dia, pasti gampang banget ngerebut perhatian pasangan orang, ya?" Lalu ia terkekeh. "Tapi ogah, sih. Cuma cewek bego yang ngejar orang berstatus. Tapi aku juga cukup bego mau-maunya sama laki-laki yang sediain ruang buat pengganggu."

Duda Ting TingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang