3. Bocil

59.1K 7.9K 288
                                    

"Lo ngapain narik-narik gue, Anin!" Frisya berusaha melepas cekalan Anin yang menyeretnya ke bagian depan ruang seminar.

"Minta maaf sama Pak Leo, Fris. Sebelum orangnya pergi."

"Ogah. Orang kayak gitu nggak pantes dihargain."

Anin melotot. "Turunin tingkat kewaspadaan lo sama orang, deh. Kenapa sih dari dulu selalu aja anggap orang lain itu jahat? Bikin lo nggak bisa menghormati mereka. Asal ceplos aja ngomongnya."

"Kok jadi lo yang sewot." Frisya memutar bola matanya kesal. Temannya itu kadang memang berlebihan. "Kalo lo mau kumpul sama betina-betina itu minta tanda tangan ya sana. Gue terima pulang aja."

"Eit!" Anin lagi-lagi berhasil menahan langkah Frisya. Ia bahkan berhasil menutup satu-satunya jalan yang bisa dilewati. "Nggak seru kalo lo nggak ikut. Seorang Frisya bucin sama cowok sampai minta tanda tangan tuh langka banget. Sekarang saatnya."

"Gila lo ya!" Suara Frisya sedikit meninggi, tapi Anin malah makin tertawa.

"Bercanda. Lewat aja, Fris. Gue cuma mau lihat mukanya dari deket. Kayaknya tadi kulitnya mulus banget kayak kulit bayi. Bukan kulit badak kayak yang lo bilang."

Frisya berdecak. Mau tidak mau ia mengikuti langkah Anin. Kalau cuma lewat, tidak apa-apa lah. Hitung-hitung melihat wajah Leo lagi untuk ia masukkan ke bagian otak yang khusus berfungsi menyimpan ingatan tidak baik. "Perawatan, Nin. Dia kelihatan laki-laki yang bakal berkutat depan cermin berjam-jam. Makanya pede banget tebar pesona terus dari tadi."

"Diri sendiri aja dirawat dengan baik. Gimana sama pasangannya, ya?" Anin malah terkikik geli.

"Justru nggak ngurusin pasangan karena urus diri sendiri aja serempong itu."

"Sok tau," cibir Anin. Ia lalu menarik lengan Frisya agar melewati gerombolan yang mengantre dapat tanda tangan Leo. "Ih, mirip om-om koreaaah!"

"Nggak!" sentak Frisya cepat. Gila aja dimirip-miripin. "Gantengan si Om Korea ke mana-mana, Nin. Jauuuuh."

"Lo lihatnya pake rasa benci, sih. Dia lebih ganteng dari itu. Selera lo kan om-om, ya." Anin terkikik lagi, diam di belakang seorang mahasiswa yang masih berkerumun mengerubungi Leo. "Boyband sama pemain drama yang 20 tahunan, lo biasa aja. Eh, ada pemain om-om, lo langsung jingkrak-jingkrak. Masalah selera emang lo nggak bisa boong sama gue."

Lalu, tanpa disangka, saat salah satu mahasiswa yang menghalangi jalan keduanya menyingkir, Anin langsung menarik Frisya hingga ia hampir terjerembap kalau saja tidak bisa mendapatkan keseimbangannya kembali.

Sekarang, mereka sudah sampai tepat di depan lelaki yang masih saja konsisten dengan senyumnya. Frisya langsung menoleh ke Anin yang hanya cengar-cengir tidak jelas.

"Frisya mau minta maaf tentang yang tadi, Pak."

"Sinting!" teriak Frisya serta merta. Tapi percuma, Anin malah tidak terpengaruh. Kini saatnya ia menatap ke depan, di mana Leo menunggunya berbicara.

Eh, tapi ternyata benar. Wajah Leo ternyata mulus kayak kulit bayi. Perawatan di mana sih? Frisya yang perempuan saja merasa tidak punya kulit wajah semulus itu.

"Tentang yang di resto AYCE itu, saya minta maaf."

Bukan suara Frisya, justru Leo mengatakannya lebih dulu. Membuat Frisya diam dengan rahangnya yang dikatupkan rapat, sedangkan Anin justru melihati keduanya dengan bingung.

"Nggak seharusnya saya tanya apa kamu sendirian. Kamu pasti tersinggung karena itu."

Lanjutan ucapan Leo membuat Frisya makin geram. Baru saja hatinya memuji, kini lelaki di depannya ini malah menunjukkan sifat tidak tahu diri. Bagi laki-laki seperti Leo yang terbiasa dipuji para betina mungkin mengira pesona itu akan membuat Frisya luluh. Salah total.

Duda Ting TingOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz