19. Terundang

38.4K 5.9K 801
                                    

Panjang nih mwehehe.

🌜🌛

Getar ponsel terus mengganggu. Hal itu membuat enam mahasiswa di sana menatap Aldri berkali-kali karena suara yang dihasilkan. Mereka sedang ada di ruang istirahat karyawan untuk merangkum semua penelitian hari itu.

"Maaf, saya tinggal sebentar," ujar Aldri sedikit menepi.

Langkah Aldri terhenti saat ponsel itu berhenti bergetar. Ia membuka pesan dari Leo yang menanyakan apa para mahasiswa sudah pulang atau belum? Ia kembali geleng-geleng kepala melihat sebuah panggilan yang masuk lagi.

Melihat Frisya yang tidak jauh darinya, Aldri mendekat. Setengah berbisik, ia mengatakannya pada Frisya. "Kamu boleh buka hp-mu sebentar, Fris. Saya kasih izin."

Frisya yang sedang menatapi laptop menoleh ke Aldri dengan kernyitan di dahi. "Saya nggak bawa hp, Pak."

"Apa?" Aldri terkejut. "Pantes temen saya hampir gila."

"Gimana, Pak?" tanya Frisya tidak mengerti.

Aldri hanya menghela napas pelan. Ponselnya tidak berhenti bergetar dan ia yakin Leo menghubunginya untuk apa. Sudah pasti tentang Frisya. Heran saja, perasaan ia kemarin melihat Leo dan Frisya sudah bicara di mobil, kok masih berantem aja hari ini?

Menyerah, Aldri akhirnya berdiri dan berjalan ke dekat pintu. Ia menoleh sebentar ke belakang. Untunglah para mahasiswa sedang fokus dengan pekerjaannya masing-masing.

"Iya, Pak Leo?"

"Udah pada pulang belum anak-anak—SHIT! Bastard, nyeberang nggak lihat-lihat!"

Astaga. Aldri mengurut pelipisnya pelan. Bisa-bisanya Leo mengendarai mobil sambil menelepon. Suara klakson terdengar berbunyi berkali-kali dengan tidak sabar.

"Pak Leo di mana?"

"Dari Malang ke Jakarta sebelas jam, Dri. Tau gitu saya pilih bisa terbang."

Ya ampun, bosnya ini ngelawak banget. "Beli kincir Doraemon aja, Pak, kalau saran saya."

"Kalau ada, saya udah beli sekalian Nobita sama Giant-nya."

"Nggak nyambung kalau pasangannya Nobita-Giant. Di mana-mana Nobita ya sama Shizuka atau Doraemon-nya. Kalau Giant sama Suneo. Masa Nobita sama Giant doang, Bapak mau terjadi perang dunia di rumah?"

"Darn you! Saya tanya anak-anak udah pulang belum? God, macet banget." Terdengar klakson tak sabaran lagi. "I'm gonna be in deep shit kalau nggak nyampe-nyampe. Fuck! Lampu merahnya dua jam!"

Aldri geleng-geleng kepala. Baru kali ini mendengar Leo mengumpat beruntun begitu. Entah apa penyebabnya.

"Sepuluh menit lagi anak-anak pulang."

"Apa?! Kemarin jam 10 belum selesai kok sekarang setengah 10 udah mau pulang?"

"Kata Bapak kalo ada yang telat kan tinggal aja. Si bendera telat juga hari ini, saya tinggal. Oh iya, sekarang pake ijo. Mirip daun pisang. Bandonya kuning, tinggal ditebas aja pisangnya."

"Well, I don't care, Aldri. Frisya mana?!"

"Nah gitu dong, straight to the point. Dia nggak bawa hp, Pak. Saya nggak mungkin nanya 'kenapa' kan?"

"Karena hindarin saya, saya tau. Kamu nggak usah nanya. Malu-maluin."

"Siap, Bos."

Terdengar helaan napas di seberang sana. Mungkin jalanan sudah lengang sampai Aldri tidak lagi mendengar klakson tak sabaran dari mobil Leo.

Duda Ting TingWhere stories live. Discover now