⏳ || Chapter 019

233 154 22
                                    

“Terkadang ketika satu luka telah tertutup, satu luka kembali terbuka, dan membuat semuanya menjadi kembali tidak baik-baik saja.”

🥀

Wanita itu tersenyum lebar mendapati Bella dan Faras datang dengan setumpuk soal latihan yang barus saja selesai dicetak. Bu Gladys tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya hari ini. Hanya karena Bella tidak jadi mengundurkan diri, hatinya berubah menjadi dipenuhi bunga warna-warni juga ledakan kembang api.

“Ibu senang kalian bisa rukun kayak gini,” ucap Bu Glasdys sambil menatap Faras dan Bella secara bergantian, senyumnya kembali terbit saat Bella tersenyum manis. “Jadi, kalian akan latihan soal lagi? Kapan?”

Baru saja Bella hendak membuka mulutnya, Faras lebih dulu memberikan jawaban secara sepihak.

“Secepatnya, Bu. Olimpiade sudah semakin dekat, Bu.”

Bu Gladys tersenyum lagi. “Bagus. Semoga kalian bisa bikin mama sekolah ini semakin melambung. Kalaupun gagal, setidaknya kalian sudah berusaha.”

Percakapan mereka berakhir saat hujan turun dengan deras. Di halte depan dekat sekolah Bella menatap langit kelabu sambil menggosok-gosokkan tangan menahan dingin. Sementara di sampingnya Faras berdiri tegak dengan kedua tangan berada dalam saku jaket. Bibir keduanya terkatup rapat, entah karena tidak ada yang ingin memulai berbicara atau memang tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.

Dalam hening yang mendekap, angin bertiup sedikit kencang membuat air hujan menempias ke titik di mana Faras dan Bella berdiri. Melihat tempias air hujan mengenai tubuhnya, gadis itu mundur beberapa langkah. Menghindari sepatunya agar tak ikut basah.

“Duduk!” titah Faras pada Bella, gadis itu menoleh sekilas kemudian segera duduk di samping Faras.

“Kamu nggak naik motor?” tanya Bella.

Faras memutar bola matanya, tak berniat ingin menanggapi. Cowok itu justru mengambil earephone-nya dan menyalakan lagu. Tindakan Faras membuat Bella berdesis sebal. Merasa tak dihargai Bella menarik satu earephone yang menyumpal telinganya.

Faras menoleh. “Apaan?!”

“Kamu nggak naik motor? Kok masih di sini?”

“Gue nunggu lo di jemput,” jawab Faras kembali memakai earephone-nya, tetapi Bella kembali menahannya.

“Kenapa?”

Faras berdecak malas. “Gue cuma mastiin kalau lo nggak nyoba bunuh diri lagi. Gue benci banget pemikiran pendek lo itu.” Faras terdiam sejenak saat di seberang jalan, tepat di depan sebuah ruko yang tutup, bola mata Faras menatap sesuatu yang membuatnya tak menyerah hingga titik ini. Sementara Bella tertegun dengan apa yang baru saja Faras utarakan.

“Coba lo lihat itu,” ucap Faras sambil menunjuk apa yang baru saja tertangkap oleh netranya. Arah pandangan Bella langsung mengikuti ke mana telunjuk Faras terarah. Bella meneguk ludah begitu pemandangan itu terekam kuat oleh kedua matanya yang langsung menyimpan file itu ke dalam otaknya.

“Mereka nggak punya rumah Bell, cuma tidur di depan ruko tutup dengan beralaskan kardus bekas. Tiap pagi mereka sering kena marah pemilik rukonya, karena merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Tapi lihat, mereka tetap bisa senyum walau keadaan mereka serba kekurangan. Makan satu bungkus berdua saja sudah menjadi nikmat tersendiri.” Bola matanya Bella tak bisa lepas dari dua orang tuna wisma di seberang jalan, kemungkinan besar mereka adalah ibu dan anak. Sang ibu dengan suka cita menyuapi anaknya, seulas senyum tulus tergambar jelas di raut wajahnya.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATWhere stories live. Discover now