⏳ || Chapter 001

1.1K 445 281
                                    

Happy Reading!

🥀

🎶Now Playing: Last Child - Pedih🎶

🥀

"Hanya butuh satu detik untuk bisa mencintai, tetapi butuh seribu tahun untuk melupakan semuanya, tentang kamu yang kini telah tiada."

🥀

"Semakin tinggi konsentrasi reaktan, semakin banyak jumlah partikel reaktan yang bertumbukan, sehingga semakin tinggi frekuensi terjadinya tumbukan dan lajunya meningkat. Sebagai contoh, dalam reaksi korosi besi di udara, laju reaksi korosi besi lebih tinggi pada udara yang kelembabannya lebih tinggi ...." Penjelasan materi kimia yang disampaikan Bu Renata membuat suasana jam pertama menjadi membosankan.

Tak terkecuali, gadis berambut cokelat yang duduk pojok kanan dekat jendela. Entah sudah berapa kali dirinya menguap sepanjang pelajaran pagi ini. Wajahnya terlihat sayu dengan bibir yang memucat dan kantung mata yang tebal menghitam. Menandakan, pemilik iris hitam legam itu kurang tidur.

Menopang dagunya dengan sebelah tangan, Bella memilih untuk memandang hamparan kanvas raksasa berwarna biru cerah. Pagi yang cerah itu tak secerah hatinya, hatinya tetaplah kelabu tanpa ada sesuatu yang membuatnya kembali berwarna. Dalam satu tarikan nafas, gadis itu kembali menata hatinya yang mulai sesak.

"Bella!"

Panggilan itu membuat gadis itu terperanjat lantaran terkejut, pandangan gadis itu teralih ke arah Bu Renata yang menatapnya tajam. Suasana kelas mendadak menjadi lebih senyap, seakan seluruh penghuni kelas menahan nafas ketakutan.

"A---ada a-apa, Bu?" Bella tergagap, kelas yang tadinya sunyi kini penuh dengan suara bisik-bisik. Bukan tanpa sebab. Perubahan Bella dari siswi dengan segudang prestasi menjadi siswi kelas bawah tentu menjadi sorotan tersendiri. Apa lagi sebelumnya, gadis itu sempat menjuarai olimpiade matematika tingkat provinsi.

"Coba ulang apa yang saya sampaikan!"

Tubuh Bella menegang sempurna seperti tali yang dibentangkan, dirinya sama sekali tidak tahu apa yang disampaikan Bu Renata. Seolah menguap, otaknya mendadak seperti gelas yang kosong. Segala penjelasan Bu Renata hanya masuk lewat telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan. Sialnya, Bu Renata masih saja menunggu dirinya untuk bersuara dengan bersandar pada meja guru sambil bersidekap dada.

Bella melirik bangku di sebelahnya. Kosong. Seharusnya ada Nafa di sana, tetapi sahabatnya itu tengah absen lantaran ada keperluan keluarga. Gadis itu menghela napas pasrah, jika saja Nafa ada, pasti sahabatnya itu akan mengingatkanya untuk fokus saat pelajaran.

Suara grusak-grusuk kini makin terdengar keras seiring dengan diamnya Bella, gadis itu sibuk membolak-balikan lembaran buku paket kimia di depannya, berharap ada satu kata kunci yang membuatnya teringat dengan penjelasan Bu Renata. Tapi, tampaknya semua itu sia-sia, otaknya begitu buntu. Kemana semua ilmu yang dirinya punya? Mengapa semuanya mendadak sirna?

"Cepat Bella!"

Gadis itu kembali tersentak, meraup udara sebanyak mungkin Bella segera membuka suara dengan kalimat apa saja yang muncul dipikirannya. "Teori tumbukan menyatakan bahwa partikel-partikel reaktan harus saling bertumbukan untuk bereaksi. Tumb---"

Suara berdebum menjadi satu-satunya suara yang menginterupsi.

Bu Renata membanting asal buku paketnya ke lantai, menimbulkan suara berdebum yang membuat seisi kelas terkejut. Beberapa diantaranya nyaris memekik.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATWhere stories live. Discover now