⏳ || Chapter 012

273 182 82
                                    

"Luka itu abadi. Seperti prasasti yang mengukirkan kisah para dinasti. Selalu terkenang dan sulit untuk dilupakan."

🥀

Faras memutar bola matanya malas begitu kedua matanya menangkap bayangan mobil yang baru saja parkir di sudut parkiran kafe Vanilla. Cowok itu benar-benar muak sekarang, dadanya meletup-letup dipenuhi amarah yang tak kunjung padam. Jika saja dia bisa menghabisi lelaki itu, Faras akan melakukannya saat ini juga. Namun, Faras masih punya cukup rasa kemanusiaan hingga niat itu hanya mampu dia kubur dalam-dalam. Dan jika Bi Idah tidak memaksanya untuk menuruti perintah lelaki itu untuk datang ke mari, maka Faras tak akan sudi untuk datang.

"Faras, kamu udah nunggu lama?" tanya lelaki berjas hitam dengan sorot mata bahagia.

Faras tersenyum, tentu saja senyum yang dipaksakan. Bahkan cowok itu menghindar ketika lelaki itu hendak mendekapnya. "Jangan basa-basi. Anda tau bahwa saya sudah lama menunggu," tukas Faras sambil mendengkus.

Warman menelan ludahnya sulit, dia kira bertemu dengan Faras akan sedikit mengurangi beban pikirannya kini. Namun, dia salah. Anak lelakinya itu jelas menolak kehadirannya. "Maaf tadi---"

"Tadi apa? Tadi anda kebingungan mencari keberadaan saya? Apakah anda lupa di meja mana keluarga kita biasanya berkumpul? Ah, ya maaf saya lupa. Tidak pernah ada kata 'kita' selama ini," ucap Faras dingin, cowok itu kemudian melempar pandangannya ke luar. Mencoba untuk mencari pemandangan yang lebih menarik dari sekedar menatap wajah memuakkan papanya, tetapi pemandangan di luar kafe justru membuat hatinya terimpit. Di luar sana seorang anak kecil baru saja turun dari mobil bersama ayah dan ibunya, digandeng dari sisi kanan dan kanan lalu berjalan bersama sambil sesekali tertawa hingga ketiganya memasuki kafe. Tanpa sadar tangan Faras mengepal erat, dirinya pernah ada diposisi itu, dirinya pernah merasakan kebersamaan itu, tetapi sekarang semuanya sudah lenyap sejak sebuah Fakta terungkap bahwa papanya punya istri selain mamanya.

Dahulu Faras kira perseteruan kedua orang tuanya hanyalah karena papanya jarang pulang ke rumah. Namun, setelah Faras tahu yang sebenarnya rasa benci itu perlahan tumbuh subur di hatinya.

"Keluarga tetap keluarga, Faras. Kita masih keluarga. " Warman menginterupsi, rasanya begitu sakit jika Faras tak menganggapnya lagi.

"Keluarga? Kita? Anda salah. Anda yang memilih pergi waktu itu, waktu saya dan mama masih sangat membutuhkan anda. Dan ketika anda kembali, berkunjung ke rumah, saya kira anda akan datang untuk memperbaiki. Namun, saya salah. Saya salah besar! Anda hanya datang untuk mencari keributan!" Faras mengacung-acungkan jarinya ke wajah Warman. Atensi pengunjung kafe teralih kepada keduanya. Ada yang mengerutkan kening, tercengang, ada pula yang geleng-geleng kepala. Namun, Faras tak peduli. Bukankah dia sudah terbiasa dianggap jahat dan tak punya hati. Jadi, biarkan saja segala amarah itu meluap di sini.

"Dan sekarang ... nama anda tak lagi ada dihati saya," cowok itu tersenyum miring. Faras sengaja mengubah kata sapannya dari 'papa' menjadi 'anda'. Bukan tanpa sebab, Faras sudah terlanjur sakit hati atas apa yang lelaki itu lakukan.

"Apa kamu mengatakan yang sebenarnya, Faras?" tanya Warman. Hanya ingin memastikan bahwa tak ada raut kebohongan di wajah anaknya.

"Iya! Sekarang katakan apa maksud anda menyuruh saya ke mari?!" sentak Faras, dia ingin segera pergi dari tempat ini. Rasanya pengap saat memori masa kecilnya di kafe ini berdesakan muncul di kepalanya. Bahkan sepotong daging mahal yang masih berasap beserta jus mangga di hadapannya sama sekali tak menarik perhatiannya.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATWhere stories live. Discover now