⏳ || Chapter 014

264 182 8
                                    

"Diam dan rahasiakan, perihal sakitmu, lukamu, dan air matamu. Orang lain tak pernah perduli itu."

🥀

“Jangan diem aja! Gue nggak ngerti, lo kenapa?” desak Faras saat Bella semakin menggila.

“Obat.” Pejam mata Bella terbuka bersamaan dengan satu kata yang keluar dari bibir pucatnya. Satu kata yang mengalirkan listrik ke rongga dada Faras. Seperti ada getaran yang membuatnya tiba-tiba tak nyaman. Faras kira obat yang Bella beli waktu itu bukan untuknya. Atas dasar apa pula Bella mengonsumsi obat antidepresan itu.

Faras tak tahu. Dia hanya bisa bergerak cepat dengan mengambil obat yang ada di tas Bella lantas memberikannya. Gadis itu tampak lebih tenang sesaat setelah menenggak obat itu. Entah mengapa sesi latihan soal ini menjadi begitu kaku saat Bella menyandarkan punggungnya pada kursi.

Wajah Bella terlihat lelah, seolah telah melakukan pekerjaan yang berat. Dan puncaknya ketika fragmen itu mulai menggenap, saat lengan blazer sebelah kiri Bella tersingkap, saat itu Faras menemukan guratan tipis di pergelangan tangan yang sayangnya begitu jelas di matanya.

Guratan tipis itu mengingatkannya pada seseorang: mama. Guratan itu juga adalah guratan yang dia temui di pergelangan tangan mamanya. Guratan yang sama, guratan yang sama-sama berasal dari benda tajam. Juga guratan atas wujud keputusan, tetapi apa yang membuat Nirmala Bella Wijaya menjadi putus asa?

Faras berdehem canggung sebelum berucap, hatinya sedikit bersyukur karena tak ada Bu Dewi yang menyaksikan kejadian tadi. Karena, guru satu itu sangatlah cerewet. “Lo udah nggak papa?”

Bella berulang kali menghela napasnya, rasa peningnya berangsur pulih. “Nggak, aku udah nggak papa.”

“Bell,” Bella menoleh, Faras justru terdiam. Bibirnya terkatup rapat, merasa kelu untuk bertanya. “Ah, nggak jadi. Sesi belajar gue rasa cukup sampai di sini. Lo mending istirahat, gue nggak mau kita kalah olimpiade karena lo sakit.”

🥀

“Mama mau Faras suapain? Mama belum makan loh, “ tanya Faras tersenyum manis, tangannya menggenggam erat tangan Astrid yang sedikit dingin. Wanita itu menggeleng, menolak untuk mengisi perutnya yang kosong sedari pagi. Tak ada yang mampu membujuk wanita itu untuk makan, bahkan dokter sekalipun.

Faras menghela nafas pasrah, ia pandangi wajah Astrid yang tetap cantik walaupun guratan luka tergambar jelas di wajahnya. “Mama mau jalan-jalan? Di sini pengap, Ma, kita cari udara segar yuk sebelum kita pulang!” Tanpa menunggu jawaban, cowok itu segera membantu ibunya bangkit dan mendudukkannya di atas kursi roda. Faras mendorongnya, membawanya ke luar.

Sepanjang jalan Faras banyak mengajak bicara meski Astrid tak mau menjawabnya. Dan itu membuat dada Faras terasa sakit.

Cowok itu berhenti di taman rumah sakit, dari kejauhan Faras dapat melihat Keysha bersama pengasuhnya. Gadis kecil itu nampak menolak begitu sebuah sendok mendarat di depan mulutnya. Sesuai janjinya, Faras akan kembali menemui Keysha. Dia tak akan membiarkan gadis itu sendirian, setidaknya hingga Tuhan memberikan keputusan atas kehidupannya.

“Lihat deh, Ma. Anak kecil itu, dia kayak tamparan buat Faras. Dia masih bisa tertawa meski nggak ada lagi yang perduli sama dia, dia sendirian tanpa orang tua, dia sakit parah. Namun, dia masih aja senyum. Nggak kayak Faras yang harus pura-pura tidak terjadi apa-apa meski hati Faras ingin menjerit sekerasnya.” Astrid tetap diam, tetapi tidak dengan hatinya yang menyesak.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang