⏳ || Chapter 008

364 225 176
                                    

"Derai tawa tak lagi memanjakan ketika semuanya hanyalah untuk kepura-puraan."

🥀

🎶Now Playing: Fiersa Besari - Nadir🎶

🥀

Faras menjulurkan tangannya dan membiarkan hujan malam membasahinya. Dari balkon kamarnya, Faras berdiri tegak menatap kosong panorama di depannya yang sepenuhnya gelap. Hanya ada cahaya yang berasal dari lampu jalan, itu pun hanyalah remang-remang seperti mentari yang dijemput temaram. Dinginnya air hujan yang begitu menusuk kulit tak membuatnya menarik tangan itu.

Sunyi. Itulah yang dirasakan Faras, ada ruang hampa di dalam dadanya yang kapan saja bisa dipenuhi rasa sesak hingga menghimpit dan menciptakan nyeri luar biasa. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Hujan selalu berhasil membawanya terbang ke masa lalu, tempat yang sebenarnya paling dirinya benci. Tempat di mana segala penderitaan yang tak kunjung reda hingga hari ini.

Jangan salahkan dirinya jika berubah menjadi sosok bermulut jemawa yang siap menyayat banyak hati. Jangan salahkan dirinya jika berubah menjadi rasionalis lantaran hatinya tak mampu lagi menerima segala bentuk labirin semesta. Faras akui dirinya kejam. Lebih kejam dari pada penjajah belanda yang hanya merebut paksa Indonesia. Namun, kejamnya Faras lebih dari itu. Entah sudah berapa hati yang menjadi korban atas ketidakadilan yang dunia berikan kepadanya. Entah sudah berapa tetes air mata yang mengalir akibat ulah mulut jemawanya. Dan entah sudah berapa banyak orang yang menaruh dendam serta benci dengan keangkuhan sifatnya.

Cowok itu berulang kali menarik nafas dan membuangnya. Ingin rasanya Faras berteriak sekencang-kencangnya. Memaki takdir yang kejam, memaki dunia yang penuh dengan pura-pura, memaki dirinya yang bodoh, dan memaki papanya yang mengingkari janji.

"Kenapa papa jahat!? Kenapa papa ninggalin kita!? Dibanding Faras, mama jauh lebih butuh perhatian papa. Dibanding Faras, mama jauh lebih ingin papa di sini. Kenapa papa tega? Kenapa? KENAPA PA?!" Cowok itu menjambak rambutnya kesal. Bersamaan dengan itu Bi Idah masuk ke Kamar Faras dengan segelas wedhang jahe. Sudah menjadi hal lumrah jika Bi Idah masuk ke kamar Faras tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Faras sangat tidak menyukai adanya stratifikasi dalam keluarga.

"Aden kenapa? Aden kangen sama Tuan?" tanya Bi Idah sambil menghampiri Faras setelah meletakan secangkir wedhang jahe di atas meja belajar Faras. Tanpa menatap wajah anak majikannya, Bi Idah tau bahwa kedua bola mata Faras dipenuhi kegelisahan, tak seharusnya remaja seusianya harus berhadapan dengan masalah sepelik ini. Namun, dia juga tau bahwa semesta tak pernah memilih kepada siapa dia akan menjatuhkan derita.

Faras terkekeh, suaranya terdengar sedikit serak. "Faras nggak pernah kangen dia. Faras Cuma nggak tega mama tersiksa karena dia."

Bi Idah tersenyum getir, diusapnya pucuk kepala Faras dengan lembut. Seperti seorang ibu yang membelai pucuk kepala anaknya sendiri. "Biar bagaimanapun, Tuan adalah ayah Aden. Sejahat apapun Tuan, dia akan tetap jadi ayah Aden. Dan Aden harus tetap berbakti kepadanya."

Cowok itu mendengkus, tatapannya terlempar pada sosok di sampingnya. "Udahlah , Bi, Kita nggak usah ini lagi ya. Faras capek, Faras mau istirahat." Faras kemudian beranjak dari balkon dan menaiki kasurnya. Sementara itu Bi Idah menyelimuti Faras sebelum beringsut ke luar kamar.

🥀

Faras kecil berlarian dengan riang ketika mobil papanya memasuki halaman, yang dia harapkan adalah pelukan hangat setelah lama tak menjalin kebersamaan. Namun, yang dia dapatkan adalah wajah papanya yang jauh dari kata senang saat mendapati dirinya merengek minta mainan.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin