⏳ || Chapter 036

241 150 16
                                    

“Sama seperti pelangi yang muncul setelah hujan dan kemudian kembali tenggelam, pada dasarnya tidak ada yang namanya kebahagiaan abadi setelah terluka. Itu bukan karena Tuhan masih belum puas setelah menimpakan rasa sedih pada umat manusia, melainkan Tuhan ingin manusia banyak belajar dan tidak terlena.”

🥀

Dari balkon kamarnya, cowok itu mampu melihat mobil hitam itu masih terparkir di tempat semula. Hiliran angin menebarkan hawa dingin yang menusuk kulit. Faras berdiri dan bersandar membelakangi balkonnya. Matanya memejam erat, dia tau papanya masih duduk di teras rumahnya. Barangkali menunggu esok datang kembali atau menunggu dirinya membuka pintu.

Faras mendesah panjang. Rasanya tak tega juga bila membiarkan papanya kedinginan di luar. Apalagi Faras tau, kemeja yang dikenakan papanya sangat lah tipis. Cowok itu menjambak rambutnya kesal. Dia benci rasa tak tega ini. Dia benci rasa khawatir yang tiba-tiba menyembul keluar. Dia benci kasihan pada orang yang membuatnya menderita.

Cowok itu berjalan ke luar kamar, hendak mengambil air minum. Namun, begitu pintu terbuka Bi Idah sudah berdiri di depan pintu dengan wajah teduhnya.

Aden nggak kasihan? Ini udah malam dan Tuan masih aja nungguin aden di luar sana. Bibi nggak mau ikut campur, tapi alangkah baiknya aden temui dulu sebentar. Dengarkan apa yang ingin beliau katakan, jika aden udah nggak bisa sayang lagi setidaknya aden masih bisa menghargai perjuangannya untuk tetap menunggu kamu.” Ucapan itu membuat Faras terpaksa melangkahkan kakinya menuju pintu utama.

Entah ini karena sihir ucapan Bi Idah atau memang hatinya yang menuntunnya untuk melakukan hal ini.

“Faras? Kamu beneran keluar untuk mendengarkan penjelasan papa?” Ucapan Mulawarman sedikit bergetar, sepertinya lelaki itu kedinginan. Tak ada hal lain yang Faras bisa lalukan selain mengangguk.

Detik setelahnya, Mulawarman mengungkapkan segalanya, dia sampaikan dengan begitu runtut dan jelas. Bilur-bilur luka datang menghampiri keduanya sejak Mulawarman mulai bercerita. Dan selama Mulawarman menjelaskan, Faras memilih bungkam hingga penjelasan itu usai.

Tamparan fakta itu menyeret Faras dalam ruang rasa bersalah yang amat dalam. Hingga dia teringat Bella juga air matanya, gadis itu hendak berkata yang sesungguhnya, dan betapa kejamnya dirinya yang justru memaki Bella dengan kata-kata yang tak seharusnya.

“Maafin papa, karena nggak cerita sejak awal, maaf telah membuat hidup kalian tersiksa,” ucap Mulawarman di penghujung ceritanya.

Faras hanya diam. Pikirannya berkelana ke masa lalu, semua pertengkaran yang pernah terjadi di masa itu adalah sebuah kesalahpahaman yang berujung. Ternyata selama ini dirinya hidup dalam dendam dan kesalahpahaman, lalu siapa yang berhak disalahkan dalam hal ini? Keduanya sama-sama memegang teguh pendirian dan beranggapan itu paling benar.

Ingatan Faras melambung pada gadis berambut cokelat itu.  Senyuman itu, air mata itu, wajah tegar itu, dan juga permintaan Bella yang dia abaikan bermunculan di ingatannya. Faras tak yakin Bella baik-baik saja setelah fakta yang sebenarnya ini dia dengar, apalagi tadi siang Faras memakinya seolah Bella lah yang harus bertanggung jawab atas segala kekacauan ini. Faras menyesal mengatakan pada gadis itu bahwa dirinyalah yang paling tersakiti.

Padahal dalam kasus ini keduanya sama-sama tidak mengetahui peristiwa yang pernah terjadi dan menjadi latar belakang semua kesalahpahaman yang ada.

“Faras dan mama butuh waktu untuk menerima semua penjelasan ini, kami perlu waktu untuk menyembuhkan luka ini ... Pa,” ucap Faras dengan ragu saat dirinya mengembalikan kata sapaannya kepada Mulawarman seperti sedia kala.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang