⏳ || Chapter 004

593 344 182
                                    

“Manusia lebih cepat terkapar oleh luka meski dirinya mengatakan dapat sekuat baja. Menjadi rapuh lantaran bagian hidupnya tak lagi utuh, seolah mati sebelum nyawa terlepas dari dalam diri.”

🥀

🎶Playing Now: Sammy Simorangkir - Kesedihanku🎶

🥀

Bella berjalan gontai dari ruang kelas bersama siswa kelas XI MIPA 1 yang lain. Pelajaran Metematika menjadi pelajaran penutup hari ini, dengan kuis sebagai santapan memuakkan selama dua jam. Deretan angka berjajar itu cukup membuat kepala Bella nyaris meledak. Padahal dahulu Bella mampu mengerjakan kuis matematika dengan cepat dan mendapatkan nilai yang sempurna, tapi gadis itu kini tak bisa berharap banyak. Nyaris 75 persen dari total soal tak mampu dirinya kerjakan yang kemudian hanya dikerjakan semampunya. Bel pulang sebenarnya sudah berdering sepuluh menit yang lalu, tapi kelas Bella menjadi yang terakhir keluar lantaran kuis menyebalkan itu!

“Lo ngga bisa ngerjain tadi?” tanya Nafa sembari membetulkan anak rambutnya yang acak-acakan.  Keduanya berjalan menyusuri koridor yang mulai sepi, hanya ada beberapa anak laki-laki yang bermain basket lapangan; entah latihan atau memang enggan pulang.

Bella mendesah pelan. “Soalnya susah, Naf.” Nada pasrah terselip rapi di setiap huruf yang keluar dari bibir gadis itu. Menatap langit yang jauh membentang luas, Bella jadi teringat akan Nadav. Mungkin jika Nadav masih ada, semuanya tidak akan sekacau ini. Jika saja Nadav masih berdiri di sini mungkin luka berkarat itu tak pernah ada.

“Lo masih kepikiran Nadav ya?” Nafa melirik Bella sekilas, raut wajah muram tergambar jelas seketika. “Bell, gue tau lo sayang banget sama Nadav, tapi pikirin juga masa depan. Mau lo nungguin Nadav sampai matahari jadi dua pun sama sekali nggak ngerubah keadaan. Buka sedikit aja mata, hati, dan pikiran lo. Mungkin aja Tuhan punya rencana lain yang lebih baik dari ini.”

Bella menggeleng patah-patah. “Nggak semudah itu, Nafa. Terlalu banyak kenangan tentang Nadav yang sulit dilupakan.”

Nafa mendengkus, hatinya sedikit dongkol dengan Bella yang tak lagi bisa berfikir jernih. “Gue nggak nyuruh lo lupain Nadav, Bella. Banyak hal lain yang bisa lo lakuin untuk mengenang, nggak harus lo ngulang kegiatan lo sama Nadav dimasa lalu. Itu bukan mengenang Bella, tapi memaksa takdir untuk mengembalikan semuanya seperti semula. Bukan sembuh tuh sakit,” Nada menunjuk dada Bella, seolah menunjuk luka tak kasat mata yang bersarang di dalamnya. “Tapi tambah parah dan melebar ke mana-mana.”

Bella terkesiap, semua ucapan Nafa tidaklah salah. Setelahnya hening menyelimuti keduanya. Hanya suara riuh anak laki-laki yang masih bermain basket meski seragamnya telah basah oleh keringat. Bella mendongak sekali lagi, menatap hamparan awan putih yang mulai berubah warna menjadi kelabu. Bayangan Nadav muncul di antara awan yang tertiup angin, kemudian bergerak menjauh dan bergabung dengan awan yang lain sebelum hilang dari pandangan.

Bella menatapnya dengan sendu, benar kata Mamanya; bahwa sebenarnya hidup ini adalah tentang menunggu kehilangan. Hanya tinggal menunggu waktu, kapan semesta akan menghilangkan salah satu bagian dalam hidup kita.

“Jangan terlalu dipikirin Bel, aku cuma mau ngasih nasehat. Gue nggak bakalan maksa jika lo emang nggak bisa, tapi kalau lo butuh sesuatu gue selalu ada buat lo.” Nafa tersenyum penuh arti sembari memegang bahu kiri  Bella.

Rasa lapang segera memeluk hati Bella, Nafa sama sekali tidak menuntutnya untuk berhenti mengulang kegiatan yang sering dirinya lakukan bersama Nadav. Menurut Bella, tindakannya itu tidak salah. Bahkan sangat benar, otak manusia bisa rusak kapan saja dan Bella tak ingin satu kenangan bersama Nadav hilang seiring berjalannya waktu. Lagi pula, dengan cara itu Bella bisa merasa dekat dengan Nadav.

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATWhere stories live. Discover now