⏳ || Chapter 005

478 295 122
                                    

“Tidak apa jika kamu tidak ingin bercerita. Sudah simpan saja. Terkadang, menyimpan luka lebih baik dari pada mengutarakan semuanya. Karena, tak semua manusia benar-benar bisa memanusiakan manusia lainnya.”

🥀

🎶Now Playing: Never Be The Same - Camilla Cabello🎶

🥀

“Bu, kita mau nunggu sampai kapan?!” Faras mengacak rambutnya kesal. Sudah hampir satu jam dirinya terjebak dalam ruang guru tanpa kepastian hendak menunggu siapa. Selepas bel pulang berbunyi tiba-tiba saja Bu Gladys menggiringnya ke ruang guru untuk membahas sesuatu. Padahal, dirinya punya urusan yang jauh lebih penting dari pada ini.

Sementara itu di depannya, Bu Gladys tampak resah, sesekali wanita dengan rambut sebahu itu melirik ponsel atau menatap jam dinding yang terletak di belakangnya. “Sabar, Faras. Mungkin sebentar lagi dia datang.”

“Sebenarnya apa sih maksud Ibu menggiring saya kemari. Setidaknya berikan keterangan dulu. Biar saya tau bahwa hal yang akan disampaikan Ibu adalah hal yang penting, bukan hal yang membuang waktu.” Bu Gladys terperangah mendengar ucapan Faras, ternyata omongan anak-anak Gratia High School tentang dirinya yang perfeksionis bukankah omong kosong.

Berdehem canggung, wanita itu kemudian membuka laci dan mengeluarkan dua lembar kertas dengan angka yang dilingkari di ujung sebelah  kanan. “Saya mau kamu jadi perwakilan olimpiade matematika tahun ini,” ujar Bu Gladys sembari menyerahkan kertas itu pada Faras, ada nilai sempurna yang menghiasi ujung kertas itu. “Nilai kuis matematika kamu sempurna Faras, bahkan ini mustahil bagi kamu yang berada di kelas MIPA 5. Meski pelajaran metematikanya sama, tapi alokasi waktu pembelajarannya berbeda dengan mereka yang berada di kelas MIPA 1.”

Faras tersenyum miring sembari menatap kertas kuis matematikanya. “Ibu kira anak-anak MIPA 5 itu bodoh sehingga Ibu berkata ‘ini mustahil’? Asal Ibu tau, kepintaran seseorang tidak diukur dari kelas mana yang dia tempati. Nggak selamanya mereka yang berada di kelas unggulan itu semuanya pinter dan nggak selamanya mereka yang berada di kelas rendah itu bodoh. Kepintaran seseorang itu diukir berdasarkan seberapa cepat dia menangkap pelajaran dan seberapa baik dia memanfaatkan waktu,” Faras menjeda kalimatnya ketika nafasnya tersegal lantaran emosi. “Mau dia berasal dari kelas unggulan pun kalau dia nggak bisa ngatur waktu belajarnya apakah dia bisa mempertahankan prestasi?” Bu Gladys menggeleng perlahan, ucapan Faras sepenuhnya benar.

“Jadi, kamu bersedia untuk jadi perwakilan olimpiade tahun ini ‘kan? Tapi kamu harus punya partner dan saya sudah siapkan itu,” ucap Bu Glasdys, matanya sesekali menatap ke arah pintu, masih berharap seseorang yang dia tunggu akan datang sesuai kesepakatan tadi.

Cowok itu menarik bibirnya ke samping, senyumnya mengembang sempurna. “Jelas saya mau, Bu. Siapa yang tidak senang jika terpilih sebagai peserta olimpiade?” Bu Glasdys tersenyum senang kemudian menyerahkan lagi satu lembar kertas yang tersisa.

Namun, senyum Bu Gladys luntur bersamaan dengan perubahan raut wajah Faras yang terlihat marah.

“Ibu nggak salah ngambil kertas ‘kan? Masa iya saya harus jadi satu partner sama anak yang nilai kuis matematikanya tiga puluh lima?!” cetus Faras sembari menunjuk nilai disudut kertas itu. “Nirmala Bella Wijaya, gadis jenius yang dulu disebut sebagai bintang sekolah, kebanggan Gratia High School. Tapi, itu dulu, Bu! Sekarang coba liat, kuis yang mudah ini pun dia nggak bisa ngerjain. Gimana mau jadi partner olimpiade. Ibu nggak mabok kan?” Faras menatap Bu Gladys tajam, dirinya merasa dipermainkan kali ini. Satu partner sama anak bodoh? Yang benar saja!

Tentang Kita yang Tak Siap Kehilangan - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang