24. Hanya Lelah Bukan Lemah

5.6K 658 29
                                    

Pryang

Revan sontak menutup kedua telinganya, kepalanya menunduk serta tubuhnya yang bergetar takut. Seharusnya ia tidak lupa jika penderitaan akan selalu datang menyambutnya. Bukankah selama ini dirinya bersahabat baik dengan luka? Tapi kenapa rasanya masih sangat sakit.

"Pa, papa apa - apaan sih?"  Darren berusaha membela.

"Darren kamu minggir!" Teriak Wira seraya menyorot tajam kearah putra sulungnya, sedangkan Darren? Tanpa rasa takut sedikitpun, laki - laki tersebut tetap berdiri kokoh di tempatnya.

"Kamu minggir, atau jangan salahin papa kalau papa berbuat nekat sama kamu" Wira kembali memperingati. Tidak peduli jika tindakannya bisa saja melukai Darren.

"Darren lo minggir sekarang"

"Dan ngebiarin lo di siksa lagi sama papa?"

"Gue udah biasa, jadi lo gak usah khawatir" Revan berusaha menenangkan. Tapi tetap saja, bukan Darren namanya jika tidak keras kepala. Alih - alih menyingkir, sosok terbut justru memperkuat pertahanannya. Ia memang benci Revan, tapi ia juga tidak bisa jika harus melihat adiknya menjadi bahan pelampiasan ayahnya.

"Saya bilang minggir ya minggir" Wira kembali murka, laki - laki tersebut bahkan menarik paksa tubuh Darren agar menjauh dari Revan.

Darren tersungkur, Revan yang melihat hal tersebut langsung di buat panik karenanya. Namun, baru saja laki - laki tersebut hendak menghampiri kakaknya, tiba - tiba tangannya di cekal kuat oleh Wira.

"Paaa" ringis Revan pelan, setidaknya tepat setelah ia merasakan sakit pada pergelangan tangannya.

"Ikut saya" ujar Wira seraya menarik kasar tubuh Revan menuju halaman belakang, tempat dimana gudang rumahnya berada.

"Paa— sakitt"

Revan terus meronta, sedangkan Wira? Seolah - olah abai laki - laki tersebut justru memperkuat cengkramannya. Tidak peduli jika saat ini tangan Revan terluka karenanya.

Wira mendorong kasar tubuh Revan hingga terbentur ke tembok, amarah benar - benar menguasainya saat ini. Sosoknya bahkan terlihat melepas ikat pinggangnya, dan mulai melampiaskannya pada tubuh Revan.

Revan menangis dalam diam, karena jika ia bersuara mungkin Wira tidak akan segan menghukumnya lebih dari ini.

"Anak pembawa sial"

"Gak tau diri"

"Bisa gak sih sehari aja kamu gak buat masalah?" Ujar Wira sarat akan emosi, bagaimana tidak mengingat dirinya baru saja di telfon oleh pihak sekolah yang mengatakan jika Revan terlibat perkelahian dengan teman sebayanya.

Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa memejamkan matanya pelan, berusaha menikmati setiap luka yang ayahnya torehkan. Revan tau ia salah, jadi ia sudah siap menerima konsekuensinya.

"Paa, buka pintunyaa" Darren terlihat menggedor - gedor pintu gudang, karena saat ini pintu tersebut telah di kunci dari dalam oleh Wira.

Darren benar - benar khawatir, mengingat bagaimana tempramen ayahnya. Laki - laki itu nekat, ia bisa saja melukai Revan lebih dari pada sebelumnya.

"Paaa" Darren masih berusaha, tidak peduli jika dirinya juga terluka. Karena yang terpenting sekarang hanyalah keselamatan adiknya.

Sedangkan di dalam sana, Revan masih terduduk lemas dengan Wira yang tidak ada hentinya memberikan cambukan. Badannya benar - benar terasa remuk, bahkan rasanya ia sudah tidak tahan lagi. Revan ingin menyerah, tapi ia sadar kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuknya menyerah.

"Kenapa Revan? Kenapa saya harus punya anak seperti kamu? Kamu sadar? Kalau selama ini kamu cuma jadi benalu di rumah saya?"

"Kalau saja bukan karena mama kamu, saya juga gak sudi merawat anak tidak berguna seperti kamu"

"Kamu anak pembawa sial, Revan" teriak Wira lagi seraya melayangkan cambuk terakhirnya pada tubuh Revan.

Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa menundukkan kepalanya. Entah kenapa perkataan Wira tadi sukses melukai perasaannya.

"Kalau papa mau, papa bisa usir aku sekarang" lirih Revan yang sukses membuat Wira mendecih sinis.

"Bahkan kalau kamu mati sekalipun, semuanya gak bakal memperbaiki keadaan" balas Wira sebelum akhirnya meninggalkan Revan seorang disana.

Ceklekk

Pintu di kunci, dan seharusnya Revan sadar jika dirinya akan berakhir disini untuk yang kesekian kalinya. Revan menangis terisak, rasanya ia benar - benar lelah untuk menghadapi semuanya.

"Maa, disini gelap banget. Revan takuttt" lirih Revan pelan seraya memeluk erat tubuhnya. Karena percaya atau tidak, Revan sangat takut gelap.

"Mama kapan jemput Revan?"

"Dinginnn maa"

Revan terus meracau seraya terus memanggil mamanya. Wajahnya juga kian memucat, apalagi kondisi gudang yang cukup gelap dan dingin sukses membuat Revan mengingat kembali rasa traumanya.

Revan memejamkan matanya sejenak, setidaknya tepat setelah rasa sesak tersebut kembali mengusiknya. Buru buru ia merogoh saku celananya, karena seingatnya ia menyimpat obatnya disana. Tapi sayang, hasilnya nihil. Obatnya tidak berada disana, dan sekarang rasa sesaknya justru semakin menyiksanya. Nafasnya tercekat, Revan bahkan tidak bisa merasakan udara di sekitarnya.

"Revan lo kuattt"

"Jangan lemahhh" lirihnya pelan seraya memukul kuat - kuat dadanya. Berharap dengan cara seperti itu semunya kembali membaik.

Revan pasrah, tepat setelah perjuangannya tidak menghasilkan apa - apa. Dan sekarang? Laki - laki tersebut hanya bisa diam seraya menikmati setiap rasa sakit yang ia rasakan.

Revan termenung, apakah besok ia masih bisa melihat matahari?

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now