70. Tidak Suka

2.9K 355 10
                                    

Sesuai janjinya, kini Revan berangkat dengan Darren. Keduanya tampak membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan sedang. Waktu masih cukup pagi, jadi mereka lebih memilih untuk menikmati perjalanan mereka.

Revan menyandarkan bahunya pada Darren, mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah fokus pada jalanan dihadapannya. Revan tersenyum, sebelum akhirnya memilih untuk melanjutkan tidurnya.

Sejujurnya Revan masih sangat mengantuk pagi ini, matanya bahkan terasa berat. Rasanya ia benar - benar merindukan kasur empuknya. "Darr, gue ngantuk"

Darren mengernyit sebelum akhirnya memilih untuk meminggirkan motornya. "Kenapa berhenti?"

"Gue gak mungkin bisa lanjut kalau kondisi lo lagi ngantuk kaya gini, Ree. Bahaya" ujar Darren yang sukses membuat Revan menghela nafas pelannya.

"Yaudah kalau gitu gue gajadi ngantuk, lo buruan jalannya" ujar Revan seraya mengeratkan pelukannya pada sang kakak.

"Tau gini kita kan bisa berangkat pake mobil, Ree"

"Enakan pake motor, dapet angin" bantah Revan yang sukses membuat Darren menghela nafas pelan.

"Buruan jalan, Darren" seru Revan, sedangkan Darren? Laki - laki tersebut hanya bisa mengangguk pelan sebelum akhirnya melanjutkan kembali perjalanan mereka.

Revan tersenyum, netranya bahkan ia alihkan kearah angkasa diatas sana. Langit tampak cerah, burung - burung bahkan berterbangan diatas sana. Sangat indah, dan Revan menyukainya.

Tapi tunggu, entah kenapa Revan justru merasa aneh dengan dirinya sendiri. Kepalanya tiba - tiba pening, pengelihatannya juga mulai buram. Revan memejam, tangannya bahkan terangkat untuk menyentuh hidungnya.

"Darr"

"Apalagi Revan? Kalau lo ngomong cuma buat bacot ga jelas mending gak usah. Gini - gini gue mau menikmati gimana rasanya pembalap profesional huhuuuuuuu" seru Darren dari balik kaca fullface nya. Sosoknya bahkan belum menyadari jika saat ini sosok Revan tidak bisa dikatakan baik - baik saja.

"Gue mimisan"

Ckittttttt

Lagi, untuk yang kesekian kalinya Darren kembali menghentikan motornya. Kali ini sosoknya tampak jauh lebih khawatir daripada sebelumnya. Tanpa pikir panjang, Darren langsung meminggirkan motornya. Membantu Revan, dan membawanya untuk duduk disebuah toko yang kebetulan masih tutup. Tangannya terlihat merogoh tasnya dan mulai mengeluarkan tissu serta obat - obat milik Revan.

"Lo gapapa kan?" Tanya Darren seraya membantu Revan untuk membersihkan noda darah pada hidungnya.

"Cuma pusing dikit"

Darren menghela nafas pelan, "Minum dulu" pinta Darren seraya menyerahkan air mineral ketangan Revan.

Revan menerimanya sebelum akhirnya meneguknya hingga tersisa setengah. "Kita kerumah sakit ya?"

"Engga usah, Darr"

"Tapi gue takut lo kenapa - napa, Ree"

"Gue gapapa, Darren"

"Muka lo pucet"

"Gue gapapa, Darren. Paling cuma pingsan doang" balas Revan lengkap dengan kekehan lirihnya. Berharap dengan cara seperti itu Darren tak lagi mengkhawatirkan dirinya.

"Pingsan doang?"

"Gue gak bakal mati, Darren"

"Ree, pleasee"

Revan mengernyitkan alisnya, tangannya bahkan terangkat untuk mengusap lembut surai kakaknya. Karena jujur, Revan bahkan tidak menyukai jika Darren terlalu mengkhawatirkan dirinya.

"Minum lagi"

Revan menggeleng, "Perut gue kembung gara - gara kebanyakan minum"

"Lo beneran gapapa?"

"Gapapa, cuma pusing dikit aja"

"Kita kerumah sakit ya?"

"Engga usah, Darr?"

"Pulang aja gimana? Istirahat dirumah" pinta Darren yang lagi - lagi hanya dijawab gelengan pelan oleh Revan.

"Kita kesekolah aja, gue gapapa"

"Tapi kalau lo mi—"

"Gue gabakal kenapa - napa asal ada lo, Darr"

"Tap—"

"Darr, ayolah sejak kapan lo jadi cerewet gini?" Tanya Revan lengkap dengan kekehan kecilnya. Darren menghela nafas pelan sebelum akhirnya kembali membersihkan noda darah pada hidung adiknya.

"Gue cuma takut kehilangan lo, Ree"

"Gue gabakal kemana - mana, Darren"

"Gue takut lo kenapa - napa"

"Gue bakal sembuh, jadi lo gausah takut - takut lagi"

"Ree—"

"Darr, udah. Justru sikap lo yang kaya gini yang bikin gue jadi pesimis buat sembuh. Jadi tolong, percaya sama gue. Gue gapapa, dan gue kalau gue bakal sembuh nantinya"

Darren tersenyum, meskipun ragu tapi sebisa mungkin ia berusaha untuk percaya pada adiknya. "Mimisan lo udah berhenti"

Revan mengangguk, netranya ia alihkan kearah pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang, jadi mau tak mau mereka harus berangkat sekarang.

"Kita berangkat sekarang"

"Maaf"

"Maaf?"

"Lo sakit gara gara gue, Ree"

"Heii, kenapa lo ngomong gitu?" Tanya Revan seraya mengamati sosok dihadapannya.

Darren menunduk, sebab ia merasa jika semua ini salahnya. "Seharusnya gue gak maksa lo belajar semalem, seharusnya lo istirahat tapi gue? Gue malah bikin lo kecapekan, Ree"

"Gue gapapa, Darren"

"Gue tau kalau sekarang lo lagi kenapa - napa, Ree. Lo gak bisa bohongin gue"

"Darren"

"Maafin gue, Ree. Sebelumnya gue udah janji bakal jagain lo. Tapi sekarang? Lagi - lagi lo sakit gara - gara gue"

"Bukan salah lo, Darr. Sama sekali bukan salah lo. Jadi stop nyalahin diri lo sendiri kaya gini. Gue gasuka" balas Revan seraya membawa dirinya kepelukan sang kakak.

Revan tak suka jika Darren merasa bersalah padanya. Revan tak suka jika harus melihat Darren bersedih. Ia bahkan tidak peduli jika saat ini kondisinya bahkan masih jauh dari kata baik. Rasa pening tak henti - hentinya menyerang, tapi saat ini Revan hanya bisa menahannya dalam diam. Tidak ingin memperburuk suasana.

"Gue gapala, Darrem

—Revan—

R E V A NNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ