68. Matematika

3K 355 12
                                    

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, sedangkan kini? Baik Darren maupun Revan terlihat sedang berada di ruang tamu. Seperti janjinya tadi siang, kini Darren tengah membantu Revan untuk membuat PR-nya.

Matematika, satu - satunya pelajaran yang sukses membuat Revan angkat tangan. Karena alih - alih mengerti, Revan justru di buat semakin pusing karena ulah si X dan si Y yang sangat hobby ilang - ilangan.

Revan mendengus, netranya terlihat menatap nanar kearah soal - soal dihadapannya. Melihatnya saja sudah sukses membuat Revan pusing, apalagi harus mengerjakannya. Ia rasa ia akan mati.

"Kita mulai dari yang no satu ya?" Tanya Darren seraya mengambil tempat disamping Revan. Tangannya terlihat meletakkan sebuah kertas kosong dihadapan Revan. "Pake orak - orek dulu"

"Kenapa gak lo aja yang buatin gue, Darr?"

Darren tersenyum sebelum akhirnya menyentil pelan kening adiknya tersebut, "Kalau gue yang buatin, otak lo kapan isinya?"

Revan mengerucutkan bibirnya lucu, "Yaudah buruan ajarin"

Darren menggeleng heran sebelum akhirnya mengambil pulpen merah dihadapannya, "Lo liat ya, ntar coba lo kerjain sendiri"

Reban terlihat mengangguk sebagai jawaban, netranya bahkan tidak ia alihkan sedikitpun dari arah kakaknya. Bohong jika Revan mengatakan dirinya tidak kagum sama sekali dengan Darren, karena pada kenyataannya dirinya memang sangat mengagumi sosok tersebut.

Darren itu pintar, jadi sudah tak asing lagi jika dirinya sering mewakili sekolah dan menjadi kesayangan para guru - guru. Lain halnya dengan dirinya, karena alih - alih mendapat banyak prestasi. Yang ada dirinya selalu menjadi langganan ruang BK.

"Yang no satu ini materinya tentang integral, kalau lo gatau bisa baca di buku paket"

"Yeuu, gue kira bakal di lo jelasin"

Darren memutar bola matanya malas, "Kalau ada di buku ngapain gue jelasin lagi? Lagian tinggal baca aja kan? Tugas gue tu cuma bantuin lo ngerjain ni soal"

Revan mengedikkan bahunya abai, sebelum akhirnya memilih membaca buku paketnya. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut masih sibuk menjawab soal yang nantinya akan ia jelaskan pada Revan.

"Ribet banget cara bacanya, ini kenapa ada tongkat payung sih—"

"Itu simbol intergral bego"

"Ya mana gue tau, gue kan ikan"

"Gumana bisa tau kalau otak lo isinya makana mulu" sahut Darren yang sukses membuat Revan menunjukkan cengiran khasnya.

"Galak banget sih kakak gue ini"

"Gimana gak galak kalau lo mancing emosi gue terus"

Revan terkekeh sebelum akhirnya memilih mengalihkan atensinya pada soal yang tadi Darren kerjakan, "Mending lo jelasin ini ke gue"

Darren menghela nafas pelan sebelum akhirnya mulai menjelaskan soal - soal tersebut kepada Revan. Sosoknya bahkan sengaja mengambil cara yang paling mudah agar cepat dimengerti oleh Revan. Tapi sayang, karena alih - alih mengerti, yang ada Revan justru membuat dirinya semakin bingung.

"Kayanya sekarang gue tau gimana rasanya jadi Bu Ocha"

Revan menunjukkan cengiran khasnya, tangannya bahkan terangkat untuk menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Kayaknya gue bego gara - gara lo deh, Darr"

"Lah ngapa gue?"

"Siapa suruh lo lahirnya pinter banget, kan kesannya disini gue jadi kelihatan bego banget"

"Bukan kelihatannya lagi, tapi emang udah bego. Udah gitu isi triple kuadrat lagi"

"Ngeselin lo"

"Udah daripada banyak kecot, mending sekarang lo kerjain no satu. Caranya hampir sama kaya yang baru gue kasih tau tadi"

Revan mengerucutkan bibirnya, soal - soal dihadapannya benar - benar sukses membuat Revan pusing tujuh keliling.

Tuk tuk tuk

"Hallo, apa ada otak di dalem?" Tanyanya seraya mengetuk pelan kepalanya. Revan menggeleng sebelum akhirmya kembali angkat bicara, "Darren, otak gue kosong. Gabisa ngerjain"

Darren menepuk jidatnya tak habis pikir, ternyata mengajari Revan matematika sudah cukup membuat kesabarannya habis. Bagaimana tidak, mengingat ada saja alasan yang sosok itu buat untuk menghindari pertanyaan - pertanyaan yang Darren buat.

"Ree, ayolah ini tuh soalnya gampang banget"

"Gampang gundulmu, susah gini"

"Gue jelasin sekali lagi, buka tuh mata lebar - lebar. Gue gamau denger kalau lo masih bilang gabisa setelah ini"

"Iya bawel"

"Nah ini kan di ketahui turunan y = f(x). Jadi   f '(x) = 2x + 3.  Kalau kurva y = f(x) lewat titik (1, 6), jadi pertama - tama lo harus tentuin persamaan kurvanya dulu—

"Caranya gimana?"

Darren terlihat menuliskan sesuatu pada kertas yang baru saja ia ambil, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa mengamati dalam diam.

"f '(x) = 2x + 3.
y = f(x) = ʃ (2x + 3) dx = x2 + 3x + c. Sampai sini paham?"

Revan hanya bisa menunjukkan cengiran khasnya, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Kaya yang gue jelasin tadi, kurva melalui titik (1, 6), berarti f(1) = 6. Jadi bisa di bilang nilai c nya itu 1 + 3 + c = 6 ↔ c = 2.

"Terus?"

Darren menghela nafas pelan untuk yang kesekian kalinya, "Jadi jawabannya itu
y= f(x) = x2 + 3x + 2 Revan"

"Itu persamaan kurvanya?"

"Menurut L?"

Revan terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Sampai sini paham?"

"Engga hehe"

"Ree, please ga lucu. Gue udah capek - capek jelasin dan lo masih belum ngerti juga?"

"Ya gimana mau ngerti? Otak gue minimalis gini Darren"

"Soal nomer satu aja lo gabisa, gimana mau ngerjain soal selanjutnya? Kalau lo lupa masih ada sembilan belas soal lagi yang harus lo kerjain, setan"

"Mon maap, itu bilang setannya bisa ga sih ga segitunya juga?"

"Bicittt injing"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now