04. Bekas Luka

9.6K 911 31
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, dan itu artinya sekolah baru saja di bubarkan sekitar lima belas menit yang lalu. Revan terlihat membawa langkahnya menuju parkiran, mengambil motor merah yang selama ini sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Namanya Jonii, satu satunya benda yang selalu menemaninya kemana mana.

"Mau langsung pulang lo?" Tanya Vano yang sukses membuat Revan mengalihkan atensinya kearah Vano.

Revan mengangguk pelan sebelum akhirnya memilih melanjutkan aksinya memakai helm full face-nya. "Iya gue mau langsung balik aja"

"Tumben banget"

"Biasa, gue ada kerjaan bentar"

"Ngapain?"

"Ngasuh anak beruang, mau ikut? Lumayan gajihnya" ujar Revan polos yang sukses membuat Vano dan juga Adrian menjatuhkan rahangnya tidak habis pikir.

"Ngomong sama lo, kayanya gue harus upgrade otak tiap hari deh Van. Ragu gue, disini gue yang telmi atau emang lo yang oon?" Ujar Adrian seraya mengelus ngelus dadanya. Sedangkan Vano? Laki laki itu lebih memilih mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Gue nyerah, udah gue nyerah. Otak gue gabisa lagi buat diajak mikir. Apalagi buat ngertiin isi dari otak lo" Vano menimpali seraya mengacak ngacak rambutnya frustasi.

Revan terkekeh kecil, tidak habis pikir dengan kelakuan teman temannya. Padahal dia kan cuma bercanda, mana mungkin ia berani berurusan dengan beruang. Iya kalau beruangnya jinak, kalau badannya yang kepotong gimana? Ga mungkin kan Revan nyuruh beruangnya buat nyambungin badannya lagi? Yang ada bukannya di sambung, malah di makan sama tuh beruang.

Revan bergidik ngeri sebelum akhirnya memilih untuk mengabaikan kedua sahabatnya. Biarkan saja mereka berkelana dengan pikiran mereka masing masing.

"Lo seriusan mau ngasuh anak beruang?"

"Kalau lo di ngap gimana?"

"Ya ngep" balas Revan santai seraya mengikuti gaya mail pada sinetron Upin dan Ipin

"Kenapa malah di pukul sih?" Ringis Revan seraya mengelus ngelus kepalanya. Mengabaikan jika saat ini masih ada Vano dan juga Adrian yang tengah menatap jengkel kearahnya.

"Lo ngomong bisa ga sih seriusan dikit?" Gerutu Vano, sedangkan Revan hanya bisa terkekeh kecil.

"Bokap gue pulang sekarang, jadi bisa di pastiin kan lo tau bakal jadi gimana ntar?"

"What? Om Wira pulang?"

"Tapi lo seriusan gapapa? Rumah gue masih muat kok buat nampung lo kalau lo berkehendak buat kabur"

"Ga usah alay njing, lagian gue seneng lagi dia pulang. Udah lama ga ketemu bokap, jadi kangen"

"Lo sehat? Apaan yang mau lo kangenin dari dia?" Tanya Vano lengkap dengan nada ketidaksukaannya.

Revan mengulum senyum tipisnya, sudah terlanjur hapal dengan sikap sahabatnya. "Udah gue gapapa, ga usah alay"

"Gue serius bangsat"

"Gue juga anjing" Revan ikut ngegas, sedangkan baik Vano maupun Adrian hanya bisa menghela nafas pelan

"Lo seriusan?"

"Please jangan banyak tanya kalau lo ga mau gue tinggal nama doang. Waktu gue tinggal sepuluh menit lagi" ujar Revan lengkap dengan nada malasnya. Tapi siapa sangka jika perkataannya barusan sukses membuat kedua sosok dihadapannya panik bukan main.

"Yaudah lo buruan pulang kalau gitu" Vano panik, bahkan tanpa sengaja laki laki itu mendorong tubuh Revan agar segera bergegas pulang. Revan terkekeh, sebelum akhirnya pamit undur diri.

"Hati hatii, ngebutt tapi pelan pelan"

"Kecepatannya 15 km/jam ya" Adrian menimpali

"Kapan nyampeknya bangsat" celetuk Vano tepat setelah dirinya menyaksikan kepergian Revan.

"Paling nanti jam tiga lebih"

"Otaklo ketinggalan dimana Ad?"

"Kayaknya masih di kotak pensil deh, lupa ngambil"

"Asuu"

***

Revan mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, sosoknya sengaja mencari jalan singkat agar terhindar dari macetnya ibu kota. Tapi siapa sangka, niatnya ingin segera sampai di rumah justru harus terhalang oleh segerombolan orang yang ia yakini adalah anak buah dari Vito.

Revan menghela nafas pelan, sebelum akhirnya memilih turun dari motornya. Netranya terlihat mengamati satu persatu sosok di hadapannya, berusaha bukti jika dugaannya tidak meleset sama sekali.

Revan terkekeh sinis, tepat setelah netranya tidak sengaja menangkap keberadaan Vito. Okay, setidaknya untuk sekarang Revan cukup tau. Jika Vito memang tidak pernah main main dengan ucapannya.

Revan jadi ragu, sebenarnya apa hubungan Vito dengan kakaknya Darren. Kenapa rasanya Vito sangat berambisi untuk mencelakainya? Apa karena ia adalah adik dari seorang Darendra Aldebaran? Entahlah, semuanya justru membuat Revan semakin pusing.

"Mau ngapain lo? Ngajakin berantem? Sorry dulu deh, bukannya gamau. Tapi gue lagi ada urusan. Urgent banget, jadi apa lo bisa minggir?" Tanya Revan lengkap dengan senyuman termanisnya.

Sedangkan diseberang sana, Vito terlihat mendecih sinis. Terlalu muak dengan ekspresi yang baru saja Revan tunjukkan.

"Bilang aja kalau lo takut" teriak Vito lengkap dengan nada remehnya.

"Takut? Sorry ya— ga ada sejarahnya seorang Revan Aldebaran takut sama orang orang kaya kaian. Terutama lo" ujar Revan dengan santainya

"Kalau gitu maju, gausah banyak alasan"

"Keroyokan nih? Pengecut banget" sindir Revan, sedangkan tidak jauh dari tempatnya sosok Vito terlihat mengepalkan kedua tangannya kuat kuat.

"One by one"

"Gitu dong, kan gue jadi seneng" balas Revan, sosoknya terlihat membuang asal tasnya sebelum akhirnya memilih menggulung kasar lengan bajunya.

Tapi siapa sangka jika gerakan Revan tadi sukses membuat Garrel menghentikan aksinya. Kali ini fokusnya justru teralihkan kearah bekas luka di lengan kiri Revan.

"Kenapa? Gapernah ngerasain punya bekas luka lo? Mau nyobain? Rasanya anjim banget" celetuk Revan lagi yang sukses membuat Garrel tersadar dari lamunannya.

Bughh

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now