72. Jangan Ambil

5.3K 478 14
                                    

Revan membawa langkahnya dengan terpaksa menuju lapangan sekolah, netranya ia alihkan kearah angkasa diatas sana sebelum akhirnya menghela nafas pelan. Waktu kini tengah menunjukkan pukul sembilan pagi, matahari bahkan bisa dibilang sedang terik - teriknya.

"Sial banget sih gue hari ini"

Untuk yang kesekian kalinya, Revan kembali menghela nafas pelan sebelum akhirnya memilih untuk melanjutkan langkahnya. Tapi kali ini keningnya bertaut, setidaknya tepat setelah netranya menangkap keberadaan Darren disana.

"Lo ngapain disini?"

"Telat masuk kelas, yaudah di hukum" gerutu Darren yang sukses membuat Revan terkekeh.

"Sial banget ya kita?"

"Lah? Lo dihukum juga? Bukannya tadi di kelas lo belum ada guru?"

"Gue kena marah pak Bimo"

"Kenapa? Jangan bilang lo berulah lagi?"

"Yakali, gini - gini gue udah tobat ya. Tapi ya gitu, kalau ada masalah di kelas pasti gue yang kena imbasnya" ujar Revan lengkap dengan nada malasnya.

"Kenapa? Lo dituduh ngapain lagi?"

"Masa iya gue dibilang masukin pak Bimo ke grup 18++, udah gitu jadiin dia admin grupnya lagi" jawab Revan yang sukses membuat Darren tertawa lepas mendengarnya.

"Ga lucu, Darren. Lagian boro - boro gue ngundang, masuk grup aja gue kaga"

"Tapi lo udah coba buat jelasin?" Tanya Darren di sela - sela tawanya. Revan mengangguk sebagai jawaban.

"Ga di dengerin, Darren" rengek Revan seraya mempoutkan bibirnya lucu.

Darren menggelengkan kepalanya heran sebelum memilih untuk melanjutkan kembali hukumannya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan masih saja menggerutu di tempatnya.

Revan kesal? Tentu saja.

Revan menarik nafas panjangnya, tangannya bahkan terangkat untuk mengusap keringat di keningnya. Matahari semakin terik, bahkan Revan sudah mulai merasakan pias pada keningnya.

Revan memejam sebelum akhirnya memilih untuk mengalihkan atensinya kearah Darren. Sosok tersebut bahkan tampak menjalankan hukumannya dengan santai, lain halnya dengan Revan. Karena saat ini sosok Revan tengah berusaha untuk mempertahankan kesadarannya.

Revan pusing, keringat dingin bahkan mulai membanjiri tubuhnya. Sepertinya ini efek dari dirinya yang terlalu kelelahan.

Revan membawa tubuhnya untuk berjongkok, nafasnya bahkan mulai tersengal - sengal seiring dengan darah yang kembali keluar melalui hidungnya.

"Revann" panik Darren, setidaknya tepat setelah netranya menangkap jika saat ini Revan sedang tidak baik - baik saja.

"Lo mimisan lagi, Ree" ujar Darren seraya menangkup pelan wajah adiknya. Terlihat jelas jika saat inu Darren benar - benar khawatir.

"Sshhh, badan gue lemes banget Darr" lirih Revan di sela - sela sakitnya.

"Kita kepinggir lapangan dulu ya?"

Revan memejam, berusaha menghalau rasa pening yang menyerangnya. Kali ini bahkan rasanya jauh lebih sakit daripada sebelumnya. Revan bingung, dalam sehari dirinya sudah dua kali mimisan. Ia takut jika apa yang selama ini coba ia perjuangkan akan berakhir sia - sia.

"Darr gue takuttt"

"Jangan takut, ada gue Ree. Kita kerumah sakit sekarang ya?" Tanya Darren, air matanya bahkan jatuh karena saking khawatirnya.

"Kepala gue sakit banget, Darr"

"Ree, please bertahan. Jangan buat gue takut kaya gini"

Revan kembali memejam, tangannya bahkan terangkat untuk menyentuh darah pada hidungnya. "Darahnya banyak banget, Darr. Gue takutt"

"Jangan takut, lo gapapa Revan. Percaya sama gue, lo pasti sembuh"

"Sekarang gue bahkan takut buat nutup mata, Darr" lirih Revan seraya menatap sendu kearah sang kakak. Nafasnya kembali tersengal sebelum akhirnya kegelapan menjadi tempat persinggahan terakhirnya.

Revan pingsan, keringat dingin bahkan masih membasahi tubuhnya, wajahnya kian memucat. Dan setidaknya hal tersebut sudah cukup sukses membuat Darren khawatir bukan main. Tanpa pikir panjang Darren langsung membawa Revan kedalam dekapannya, tidak peduli jika saat ini seragamnya telah berlumuran darah.

"Ree, sadar please. Jangan gini, please bertagan" teriak Darren seraya menepuk pelan pipi Revan. Berharap dengan cara tersebut, Revan dapat segera sadar dari pingsannya. Tapi sayang, alih - alih sadar yang ada kondisi Revan justru semakin memburuk.

Darren bahkan bisa merasakan jika saat ini suhu tubuh Revan terasa sangat dingin, Darren kalap bahkan sosoknya tidak malu lagi untuk berteriak dan meminta pertolongan sekitar. Karena jujur, seketika ia bingung tidak tau harus melakukan apa. Rasa khawatirnya sudah cukup membuat dirinya kehilangan banyak akal.

Darren sudah pernah kehilangan Revan sekali, jadi ia harap jika saat ini semesta tidak akan merenggut Revan untuk yang kedua kalinya. Darren sudah berjanji jika dirinya akan menjadi pribadi serta kakak yang baik untuk Revan. Jadi sebelum semuanya terwujud, ia harap jika semesta tidak akan mengambil paksa Revan darinya.

Darren ingin menghabiskan waktunya bersama Revan, karena percaya atau tidak saat ini Darren sangat bergantung pada adiknya tersebut.

Darren menangis, sosoknya bahkan masih berteriak. Berharap jika seseorang datang dan membantunya. Darren benar - benar takut saat ini.

Tolong

"Revannnn"

"Darr, Revan kenapa?"

"Yaampun Revan"

"Ree, sadar Ree"

"Darr, ini Revan kenapa?"

"Kita kerumah sakit sekarang!"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now