31. Perasaan Iri

4.6K 587 22
                                    

Lima hari lamanya Revan berada di rumah sakit, dan sekarang laki - laki tersebut sudah di perbolehkan pulang. Dengan di temani oleh Vano dan juga Adrian, Revan tampak membawa langkahnya memasuki rumah.

Revan sebenarnya ragu, rumahnya bahkan terasa asing baginya. Seolah - olah kedatangannya memang tidak pernah di harapkan sama sekali. Tapi meskipun begitu, Revan berusaha untuk mengabaikan semuanya. Berusaha bersikap seolah dia baik - baik saja. Tidak peduli jika keadaannya bahkan bisa di bilang jauh dari kata baik.

Kata - kata Darren lima hari yang lalu masih terngiang - ngiang di benaknya, belum lagi dengan perkataan Wira yang seolah - olah menjatuhkannya. Revan tersenyum tipis, berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika ia bisa. Sudah saatnya ia berubah bukan?.

"Lo berdua langsung ke kamar gue aja ya? Biar gue ambilin minum dulu" ujar Revan seraya mengalihkan atensinya kearah Vano dan juga Adrian secara bergantian.

"Gak usah elah, mending sekarang lo buruan masuk kamar. Istirahat, jangan sampek kondisi lo drop lagi" Adrian mengingatkan yang langsung di jawab anggukan cepat oleh Vano.

"Adrian bener, mending sekarang kita langsung ke kamar lo"

"Tumben kalem, biasanya ngobrak - abrik isi kulkas gue lo"

"Gue mau tobat dulu, ya seenggaknya sampe lo bener - bener sembuh lah" ujar Vano yang sukses membuat Revan terkekeh kecil. Ketiganya tampak memasuki kamar Revan, mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah mengamatinya dari jauh.

Darren menghela nafas pelan, melihat bagaimana tawa itu muncul di wajah adiknya membuat Darren merasa tidak nyaman. Entah kenapa ia tidak rela melihat Revan tertawa karena orang lain.

"Seharusnya gue gak usah peduli, tapi kenapa rasanya gue gak rela?" Lirih Darren seraya mengamati kepergian ketiganya.

"Ngapain kamu?" Tanya Wira yang sukses membuat Darren mengalihkan atensinya kearah ayahnya.

"Papa?"

"Kamu ngapain disini? Udah makan?" Tanya Wira seraya mengusak pelan rambut putranya.

"Belum sih, kenapa pa?"

"Kebetulan banget, papa bawain makanan kesukaan kamu. Kita makan bareng ya?"

Darren tersenyum tipis sebelum akhirnya memilih mengikuti langkah Wira menuju meja makan. Sedangkan tidak jauh dari posisinya, sosok Revan tengah mengamati interaksi keduanya dalam diam.

"Salah gak sih kalau gue iri sama lo, Darr? Lo bisa ngerasain kasih sayang papa tanpa lo minta, sedangkan gue?" Lirih Revan lengkap dengan senyuman mirisnya.

"Lah katanya mau kedapur, tapi kok malah disini sih?" Tanya Adrian seraya menepuk pelan pundak Revan. Sedangkan Revan? Bukannya menjawab, laki - laki tersebut memilih membawa kembali langkahnya menuju kamar.

Ia bahkan lupa tujuan awalnya untuk mengambil minuman, setidaknya tepat setelah ia tidak sengaja melihat interaksi kakak dan juga ayahnya.

"Reee?" Adrian mengernyit bingung sebelum akhirnya memilih mengikuti langkah sahabatnya.

Revan tampak memasuki kamar, tatapannya kosong seiring dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah. Sedangkan disisi lain, Vano yang menyadari sesuatu pun langsung menghampiri Revan.

"Ree? Lo kenapa?"

"Adrian? Revan kenapa?" Merasa tidak mendapat jawaban dari Revan, Vano memilih untuk menanyakannya pada Adrian. Tapi alih - alih mendapat jawaban, laki - laki tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Karena pada kenyataannya, Adrian memang tidak tau apa - apa.

"Salah gak sih kalau gue iri sama saudara gue sendiri?" Lirih Revan seraya mengalihkan atensinya kearah Vano dan juga Adrian satu persatu.

"Reee?"

"Cengeng banget ya gue? Lemah banget sumpah" lirihnya lagi yang langsung di jawab gelengan cepat oleh Vano.

"Lo kalau mau nangis, nangis aja gak papa. Selama itu bisa ngebuat lo lebih tenang, kenapa engga?" Ujar Vano seraya mengusap air mata Revan dengan lembut.

"Gue cuma pengen ngerasain kasih sayang bokap gue, tapi kenapa rasanya mustahil banget?"

"Kadang gue iri sama Darren, dia bahkan bisa ngerasain kasih sayang bokap tanpa diminta sekalipun. Sedangkan gue? Gue mintapun dia gak pernah peduli"

"Gue anaknya bukan sih? Kenapa gue ngerasa perlakuan dia ke gue beda banget?" Lirih Revan seraya menundukkan kepalanya pelan.

"Gue punya keluarga, tapi gue ngerasa kaya gak punya keluarga sama sekali" lanjut Revan lagi, sedangkan baik Vano maupun Adrian memilih menjadi pendengar yang baik.

"Ree, kalaupun mereka gak pernah nganggep lo ada. Seenggaknya lo gak lupa kalau lo masih punya kita, Ree"

"Gue capek, Van" lirih Revan yang sukses membuat Vano menarik sosok tersebut kedalam pelukannya. Karena pada kenyataannya, Vano paling tidak tega jika harus melihat Revan seterluka ini.

"Gue yakin lo bisa, Ree. Gue yakin lo bisa"

"Boleh gak sih gue nyerah? Gue bener - bener udah capek. Rasanya sakit banget, Van" lirih Revan seraya menggigit ujung bibirnya. Air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah. Bisa di bilang jika saat ini adalah titik terendah dalam hidupnya.

Kata kata Darren dan juga ayahnya sukses membuat Revan merasa tidak berguna sama sekali. Seolah - olah keberadaanya benar - benar menjadi benalu di keluarganya sendiri.

"Gue capekk hikss"

"Gue capekkk"

Vano terlihat mengeratkan pelukannya, sedangkan disisi lain sosok Adrian tengah berusaha mati - matian untuk menahan tangisnya. Mereka bahkan bisa ikut merasakan bagaimana terlukanya Revan saat ini.

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now