29. Ragu

4.5K 583 27
                                    

Darren membawa langkahnya keluar dari ruangan Revan, air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah. Bohong jika Darren mengatakan dirinya baik - baik saja. Karena pada kenyataannya ia juga sama terlukanya dengan Revan.

Darren bingung, ia bahkan tidak tau harus menjabarkannya seperti apa. Semuanya terlalu tiba - tiba untuk ia mengerti seorang diri. Terlalu banyak teka - teki yang membuatnya bingung dan terlalu banyak juga fakta menyakitkan yang bahkan tidak bisa ia duga sebelumnya.

Revan bukan adiknya, tapi kenapa rasanya sangat sulit untuk mempercayai semuanya? Setelah apa yang selama ini mereka lewati bersama, entah kenapa hatinya justru menolak dengan keras fakta tersebut?

Darren memejamkan matanya perlahan sebelum akhirnya memilih untuk meninggalkan tempat tersebut.

"Maafin gue, Ree"

***

Siang ini matahari terlihat sedang terik teriknya, panasnya begitu menyengat seiring dengan cahaya silaunya yang mengusik indra pengelihatan.

Revan menghela nafas pelan, netranya ia alihkan kearah angkasa di atas sana. Seperti biasa, tidak ada yang spesial sedikitpun. Sama halnya dengan dirinya—

Karena, sedari awal— bukankah memang tidak ada yang spesial? Apa yang bisa ia banggakan? Keluarga yang berantakan? Hidup yang terlalu menoton? Atau harus hidup di bawah penekanan orang lain?

Revan sendiri bingung, sebenarnya untuk apa ia hidup, jika selama hidupnya ia tidak pernah mendapat kebahagiaan sedikitpun?

Ada kalanya, Revan ingin menyerah dengan keadaan. Diamnya selama ini, bukan berarti ia benar benar pendiam sehingga harus di juluki pria es. Hanya saja, sosoknya terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya, jika pada akhirnya ia juga tau jika semuanya tak akan pernah di dengar.

Revan menghela nafas pelan sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya menuju salah satu kursi yang berada disana. Balkon, mungkin hanya tempat ini yang mampu memberikannya sedikit ketenangan.

Revan memejamkan matanya sejenak, membukanya kembali sebelum akhirnya menghela nafas pelan.

"Gue udah duga kalau lo ada disini" ujar seseorang yang sukses membuat Revan mengalihkan atensinya cepat kearah sumber suara. Dahinya mengernyit bingung, tepat setelah ia menyadari siapa gerangan pemilik suara tersebut.

"Gue kira lo kabur dari rumah sakit, taunya malah disini" lanjut sosok tersebut seraya membawa langkahnya mendekat.

"Ngapain lo?"

"Menurut lo? Lagian lo hobby banget sih sakit - sakitan. Iya kalau sakitnya ga nyusahin orang, lah ini? Nyusahin tau ga" sungut Vano seraya memutar bola matanya malas.

Revan menghela nafas pelan, langkahnya ia bawa mendekat sebelum akhirnya berhenti tepat di hadapan Vano. "Kalau lo ga mau susah, ngapain mau?"

"Lo gak tau apa gimana pengorbanan gue biar bisa sampe sini? Gue bela - belain bolos sekolah cuma buat nemuin lo, Ree. Gue khawatir"

Revan terkekeh "Gue lagi males debat, jadi lo gak usah drama dulu"

"Lo ya? Bisa ga sih sehari aja ga usah nyebelin?"

"Dan lo? Bisa ga sih sehari aja ga usah nongol di depan gue?" Balas Revan yang sukses membuat Vano menatap geram kearahnya. Jika saja Vano tidak lupa kalau saat ini Revan sedang sakit, mungkin Vano tidak akan segan untuk menjadikan Revan tempe goreng.

"Gue ga mungkin nongol, kalau aja lo ga buat gue khawatir, Ree" ujar Vano yang sukses membuat Revan mengulum senyum tipisnya.

"Adrian mana?"

"Ketangkep pak Udin pas mau bolos sama gue"

Revan terkekeh kecil, "Kasian banget tu anak"

"Siapa suruh jadi anak bego banget, status doang ketua kelas. Tapi mikirin cara buat bolos aja gak bisa"

"Lagian kenapa pake acara bolos sih? Sepulang sekolah kan bisa"

"Karena gue gak mau lo kesepian, Ree"

"Maksud lo?"

"Lo ngerti maksud gue, Ree"

Revan tersenyum miris sebelum akhirnya kembali mengalihkan atensinya kearah Vano. "Lo temenan sama gue bukan karena rasa kasihan kan?"

Vano mengernyit bingung, bukan apa - apa— hanya saja dirinya masih belum mengerti dengan apa yang baru saja Revan katakan.

"Lo temenan sama gue bukan karena kasihan kan?" Revan kembali mengulangi pertanyaannya. Sedangkan di tempatnya Vano tampak menggeleng cepat sebagai jawaban. Setidaknya tepat setelah ia menyadari semuanya.

"Lo tau gue, dan kita juga udah sahabatan lama Ree. Jadi apa lo masih mikir kalau gue temenan sama lo cuma sebatas rasa kasihan?"

"Gue tulus sama lo, Ree. Gue bahkan gak pernah peduli gimana latar belakang lo. Yang jelas sekarang gue nyaman sama lo, dan gue mau lo jadi sahabat gue"

"Gue mungkin gak tau kenapa lo bisa nanya ini tiba - tiba. Tapi gue cuma minta satuhal sama lo. Tolong percaya sama gue, gue temenan sama lo tulus"

"Gue bahkan udah nganggep lo kayak saudara gue sendiri, Ree. Temenan dari kecil udah cukup ngejelasin kalau gue bener - bener peduli sama lo"

"Maafin gue"

"Maaf?"

"Maaf karena gue udah ngeraguin lo, Van. Gue cuma takut kalau semua orang yang deket sama gue cuma karena rasa kasihan"

"Gak semua orang bakal punya pemikiran gitu, Ree"

"Makasi, Van. Seenggaknya untuk sekarang gue masih punya alasan untuk bertahan. Makasih udah selalu ada"

"Wait, kenapa tiba - tiba lo jadi ngomong gini? Lo gak ada niat buat ninggalin gue kan?" Tanya Vano lengkap dengan nada paniknya. Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

"Gue gak bakal kemana - mana" lirih Revan lengkap dengan senyuman khas miliknya. Mengabaikan jika saat ini sosok Vano hanya bisa menatap diam kearahnya. Vano merasa jika Revan sedang berusaha menyembunyikan sesuatu darinya.

"Apapun masalah lo, gue cuma minta lo kuat, Ree. Jangan pernah mikir buat nyerah. Masih banyak orang yang sayang sama lo. Salah satunya ada gue sama Adrian" lirih Vano yang sukses membuat Revan menjatuhkan air matanya.

"Gue gak mau ngecewain lo, tapi gue juga gak bisa janji, Van. Kali ini gue bener - bener udah capek"

"Tahan ya? Semuanya pasti bakal baik - baik aja. Tolongg!"

"Gue ragu, Van"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now