54. Terungkap

4.2K 506 13
                                    

"Lo?" Ujar Darren saat netranya tidak sengaja menangkap keberadaan sosok yang tidak asing lagi dimatanya.

"Ngapain lo disini?"

"Bokap lo mana?" Bukannya menjawab, Raska justru melempar pertanyaan baru untuk sosok di hadapannya.

"Ngapain lo nyari bokap gue?"

"Sekarang bukan waktunya buat ngejelasin. Cukup kasih tau gue, bokap lo mana?"

"Gue gak bakal kasih tau sebelum lo jelasin apa tujuan lo ketemu bokap gue" ujar Darren tak mau kalah. Ia bahkan mengabaikan jika saat ini sosok di hadapannya hanya bisa mengepalkan kedua tangannya kuat.

"Bokap lo mana?" Ujar Raska sarat akan penekanan. Ia bahkan tidak peduli jika tindakannya akan membuat Darren tersinggung atau marah nantinya. Karena yang terpenting baginya sekarang hanyalah menemui Mahawira.

"Gue gak bakal kasih tau lo dimana bokap gue!"

Raska memejamkan matanya sejenak, tidak habis pikir dengan sosok dihadapannya ini. Jika saja Raska tidak ingat jika Darren adalah saudara Revan, sudah dipastikan jika Darren tidak akan selamat di tangannya.

"Waktu gue gak banyak. Gue harus ketemu bokap lo"

"Dan gue bakal halangin lo!"

"Darren!"

"Kenapa? Lo gak suka? Kalau lo lupa sekarang lo lagi di rumah gue, jadi gak usah lancang!"

"Gue cuma mau ketemu bokap lo, Darren"

"Lo pikir lo siapa? Lo bahkan gak punya hak sama sekali buat ketemu bokap gue" balas Darren lengkap dengan seringain remehnya.

"Tolong, ijinin gue ketemu bokap lo Darr. Karena cuma dia satu - satunya orang yang bisa nolongin Revan" lirih Raska seraya menatap sendu kearah Darren. Berharap dengan cara seperti itu Darren mau mempertemukannya dengan Wira.

"Wait, tadi lo bilang apa? Revan?" Tanya Darren yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Raska.

"Sekarang Revan lagi kritis, dia kekurangan banyak darah. Dan bokap lo? Cuma dia satu - satunya orang yang bisa donorin darahnya buat Revan"

"Tau apa kamu soal keluarga saya?" Ujar Wira yang sukses membuat Raska dan juga Darren tersentak.

"Om Wira"

Wira memutar bola matanya malas, sosoknya bahkan terlihat begitu abai. Tidak peduli jika saat ini baik Raska maupun Darren hanya bisa menatapnya dalam diam.

"Lo bilang Revan kritis?" Tanya Darren yang langsung dijawab anggukan cepat oleh Raska.

"Om, disini cuma om yang bisa nolongin Revan. Revan butuh donor darah, dan disini cuma om satu - satunya orang yang punya golongan darah sama kaya Revan"

"Tau apa kamu? Dia bahkan bukan anak saya. Jadi bagaimana mungkin golongan darah kita sama?"

"Ab+, itu golongan darah om kan?"

"Kenapa lo bisa tau?" Kali ini bukan Wira yang menjawab, melainkan Darren. Laki - laki tersebut bahkan mengernyitkan alisnya bingung. Masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Karena golongan darah Revan juga, Ab+"

Wira terlihat menghela nafasnya pelan sebelum akhirnya beralih menatap sosok di hadapannya dengan malas. "Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini"

"Saya gak bakal pergi sebelum om ikut saya kerumah sakit!"

"Kamu pikir kamu siapa bisa ngatur - ngatur saya?"

"Kalau om lupa Revan anak Om"

"Dia bukan anak saya!"

"Om mau berkelit kaya gimana lagi? Sekarang kebohongan Om udah terungkap semua. Jadi apa Om masih belum mau nolongin Revan?"

"Tolong jaga ucapan kamu!"

"Paa...."

"Gak usah dengerin apa kata dia. Lebih baik sekarang kamu masuk Darren!" Ujar Wira seraya menatap tajam sosok dihadapannya. Ia bahkan tidak peduli jika lawannya saat ini adalah remaja berusia delapan belas tahun. Karena prinsipnya selama ini, siapapun yang berani mengusiknya. Maka bersiap - siaplah untuk menerima kehancuran.

"Revan anak Om, dan sekarang dia lagi kritis di rumah sakit. Kita cuma punya waktu lima belas jam lagi buat nyelametin Revan atau engga—"

"Atau kenapa?" Tanya Darren sarat akan kekhawatiran.

"Revan gak bisa di selametin lagi" lanjut Raska lengkap dengan nada lirihnya.

"Aku mungkin gak tau apa alasan Om gak pernah ngakuin Revan sebagai anak Om. Tapi seenggaknya Om juga gak lupa kalau anak yang baru aja Om telantarin itu adalah darah daging Om sendiri"

"Kenapa lo bisa seyakin itu?" Kali ini Darren kembali menimpali lengkap dengan suara bergetarnya. Sebenarnya apa lagi ini? Dari sekian banyak kemungkinan, siapa yang harus Darren percayai?"

"Lo kakaknya, seharusnya lo lebih tau karakter adik lo. Seharusnya ikatan kalian cukup kuat, tapi apa? Lo bahkan gak tau kalau selama ini bokap lo udah ngebohongin lo"

"Revan bukan anak dari hasil perselingkuhan siapapun. Dia adik, lo Darr. Adik kandung lo!"

"Tolong jaga ucapan kamu! Kalau kamu lupa, kamu bahkan bukan siapa - siapa di keluarga saya. Jadi tolong, jangan menyebar kebohongan disini"

"Kebohongan? Justru disini Om yang udah bohongin semuanya. Dan secara gak sadar, Revan udah cukup menderita karena Om!"

"Jadi selama ini papa udah bohongin aku?" Ujar Darren lengkap dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah.

"Darren, dengerin papa dulu nak"

"Revan adik kandung aku?"

"Darren"

"Aku bahkan gak percaya ini" lirih Darren seraya menatap tak percaya sosok dihadapannya.

"Waktu kita tinggal lima belas jam lagi. Kalau Om emang pengen Revan pergi  ninggalin kita semua, Om gak perlu dateng. Tapi—"

"Saya gak akan pergi!"

"Aku harap Om berubah pikiran. Kalau engga, aku mungkin gatau seberapa nyeselnya Om nanti" ujar Raska sebelum akhirnya pergi dari sana. Meninggalkan Wira yang saat ini hanya bisa mengepalkan kedua tangannya kuat - kuat.

"Aku butuh penjelasan papa!" Ujar Darren yang sukses membuat Wira seketika mengalihkan atensinya.

"Darren, papa—"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now