38. Perdebatan

3.9K 565 31
                                    

Vano tampak berlari sebelum akhirnya berhambur memeluk sosok tersebut. Tidak bisa di pungkiri jika saat ini dirinya bisa bernafas lega, karena jika boleh jujur— Vano benar - benar mengkhawatirkan sosok Revan.

"Ree, lo gak papa kan?" Lirih Vano seraya merengkuh kuat tubuh sosok dihadapannya.

"Darren Van, Darren...."

"Darren kenapa?"

"Semuanya salah gue, Van. Darren kritis gara - gara gue" lirih Revan di sela - sela isak tangisnya. Sedangkan Vano? Laki - laki tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Berusaha meyakinkan jika semua ini bukan salah Revan.

"Bukan salah lo, Ree. Ini bukan salah lo" ujar Vano seraya mengeratkan pelukannya pada Revan.

"Darren kritis, Van. Ini semua salah gue"

"Revan please stop nyalahin diri lo sendiri"

"Vano bener, ini bukan salah lo Ree" Adrian ikut menimpali. Air matanya bahkan ikut jatuh tanpa bisa ia cegah.

"Seharusnya gue yang ada disana, bukan Darren" tangis Revan seraya menjambak rambutnya frustasi. Mengabaikan jika saat ini baik Vano maupun Adrian masih berusaha menenangkannya.

Revan bahkan tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Hatinya terluka, bahkan Revan merasa jika dirinya telah kehilangan pijakannya. Ia tidak tau kenapa, tapi dirinya benar - benar takut kehilangan Darren.

Darren memang bukan saudara kandungnya, Darren memang tidak pernah bersikap baik padanya. Tapi percaya atau tidak, Revan dapat merasakan ikatan yang cukup kuat di antara mereka. Bahkan jika bisa memilih, Revan tidak akan segan untuk menggantikan Darren didalam sana.

"Ini salah gue, Ad. Ini semua salah gue" lirih Revan seraya menundukkan kepalanya pelan. Sosoknya hampir saja limbung, jika saja Vano tidak sigap menahannya.

Adrian memalingkan wajahnya, tidak bisa di pungkiri jika Revan adalah kelemahannya. Melihat Revan sehancur ini rasanya ia juga ikut hancur. Entah kenapa air mata sosok tersebut sukses membuat hatinya terluka.

"Revan lo tenang please. Semuanya gak bakal membaik kalau lo terus - terusan kaya gini"

"Darren pasti sedih kalau liat lo kaya gini, Ree. Gue mohon lo tenang, serahin semuanya sama tuhan. Dan lo harus percaya, kalau Darren gak bakal kenapa - napa" Adrian kembali menimpali, tangannya bahkan terangkat untuk menghapus jejak air mata di wajah sahabatnya.

"Gue takutttt" lirih Revan seraya menjatuhkan kembali air matanya.

"Gue tau Ree, tapi lo juga harus pikirin kondisi lo"

"Gue baru aja baikan sama Darren, tapi kenapa lagi - lagi tuhan nguji gue?"

"Apa tuhan gak sayang sama gue?" Lanjut Revan lengkap dengan nada lirihnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Vano hanya menggeleng cepat sebagai jawaban.

"Engga Ree. Lo gak boleh ngomong gitu, tuhan sayang sama lo"

"Kalau sayang, kenapa gue gak pernah ngerasain yang namanya bahagia? Gue cuma pengen bahagia Adrian" Revan kembali terisak, sedangkan Vano? Laki - laki tersebut hanya bisa menarik Revan kedalam dekapannya.

"Jangan pernah berpikiran kaya gitu, Ree. Tuhan sayang sama lo"

Revan terisak, ia bahkan tidak bisa menahan air matanya agar tidak jatuh. Kali ini ia benar - benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Revan bahkan tidak pernah sesedih ini sebelumnya. Tapi sekarang? Revan bahkan tidak bisa menjabarkan perasaannya melalui kata.

"Kita berdoa aja, semoga Darren gak papa" Ujar Adrian lengkap dengan senyum tipisnya. Berharap dengan cara tersebut Revan bisa mendapatkan kembali ketenangannya.

"Rasanya sakit banget, Ad"

"Gue ngerti perasaan lo, Ree"

"Gue takuttt"

"Gue tau, tapi seenggaknya untuk sekarang gue minta lo kuat, Ree"

"Vann—"

"Gue disini Ree, gue gak bakal ninggalin lo" ujar Vano seraya membenahi tatanan rambut sahabatnya.

"Papa marah banget sama gue, dia bilang kalau gue anak pembawa sial. Papa bilang kalau yang seharusnya disana itu gue, bukan Darren. Papa bilang ka—"

"Jangan di lanjutin kalau itu cuma buat lo sakit hati" potong Vano cepat, ia hanya tidak ingin jika mental Revan kembali terganggu karena perkataan ayahnya sendiri.

"Apa gue seburuk itu?"

"Lo gak pernah buruk di mata kita, Ree. Justru kita beruntung bisa punya sahabat kaya lo" Lirih Adrian yang sukses membuat Revan memeluknya.

Disatu sisi Revan membenci takdirnya, tapi disisi lain ia juga bersyukur. Reva bersyukur karena tuhan telah memberikannya sahabat sebaik Vano dan juga Adrian. Revan bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hari - harinya jika tanpa sahabatnya.

"Mau apa kalian disini?" Ujar seseorang yang sukses membuat Revan, Adrian dan juga Vano mengalihkan atensinya kearah sumber suara.

"Pa-papa..."

"Jangan panggil saya papa, karena saya bukan papa kamu Revan"

"Ommm"

"Kenapa? Kamu mau bela anak pembawa sial ini?" Ujar Wira yang sukses membuat Vano mengepalkan tangannya kuat. Ia bahkan tidak habis pikir dengan jalan pikiran laki - laki di hadapannya.

"Om, saya mungkin gak punya hak buat ikut campur disini. Tapi setidaknya om bisa menjaga kata - kata om. Om udah dewasa, setiaknya disini om bisa tau mana yang bener dan mana yang salah. Jadi om gak punya hak buat nyalahin Revan atas semuanya" ujar Vano yang sukses membuat Wira menatap tajam kearahnya. Sedangkan disisi lain sosok Revan hanya bisa menangis di pelukan Adrian.

"Kalau kamu lupa kamu itu masih bau kencur. Jadi jangan sok - sok an mau nyeramahin saya. Kamu pikir kamu siapa?"

"Maaf sebelumnya, tapi buat apa dewasa kalau pemikiran kita masih anak - anak? Saya emang masih kecil, tapi setidaknya pemikiran saya jauh lebih dewasa daripada om" Ujar Vano, mengabaikan jika saat ini sosok Wira benar - benar emosi karenanya.

"Kamuu—" ujar Wira seraya menarik kasar kerah baju Vano.

"Pa— udah paa" Revan mulai melerai, ia hanya tidak ingin jika Wira sampai melukai sahabatnya. Tapi bukannya berhasil melindungi Vano, dirinya justru terdorong cukup keras hingga tersungkur kelantai.

Revan meringis, netranya terlihat menatap nanar kearah Wira. Sedangkan Vano? Tanpa pikir panjang dirinya langsung berhambur memeluk Revan. Mengabaikan jika saat ini sosok Wira hanya bisa menatap tajam kearah mereka.

"Revan emang bukan anak om, tapi bukan berarti om bisa perlakuin Revan kaya gini. Kalau om lupa, Revan itu manusia bukan binatang" setelah sekian lama terdiam, kini Adrian mulai buka suara. Karena percaya atau tidak, dirinya benar - benar muak dengan sikap sosok di hadapannya.

"Dasar anak gak tau diri, apa kalian tidak pernah di ajarkan sopan santun?" Ujar Wira yang langsung dijawab kekehan sinis oleh Adrian.

"Lalu apa kabar dengan, om?"

—Revan—

R E V A NNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ