62. Bentuk Perhatian

3.5K 418 4
                                    

"Gue seneng kalau akhirnya gue bisa pulang juga" ujar Revan lengkap dengan senyuman khasnya. Tangannya ia rentangkan, berharap dengan cara tersebut dirinya bisa menikmati bagaimana sejuknya udara luar saat ini. Berhari - hari di rumah sakit sukses membuat dirinya merindukan suasana luar.

Revan tersenyum sebelum akhirnya memilih untuk mengalihkan atensinya kearah Darren. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut hanya bisa tersenyum seraya mengusak lembut rambut adiknya.

"Jangan lupa kalau lo harus cek up tiap bulannya" ujar Darren yang sukses membuat Revan menghela nafas pelannya. Karena jujur, Revan sangat tidak menyukai kemotrapi atau apapun yang berhubungan dengan rumah sakit.

"Huhhhh"

"Udah gak usah dipikirin, mending sekarang kita pulang. Lo udah gasabar kan?" Tanya Darren yang langsung dijawab anggukan antusias oleh Revan. Tapi sayang, semuanya tidak berlangsung lama. Setidaknya tepat setelah netranya menangkap keberadaan motor Darren disana.

"Ki-kita pulang naik motor?" Tanya Revan lengkap dengan kernyitan di alisnya. Ia bahkan masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Darren tidak berusaha membohonginya kan? Apa mungkin mereka benar - benar pulang menggunakan sepeda motor?

"Mobil gue masih di servis, sedangkan bokap sama Om Wira gabisa jemput lo. Dirumah cuma ada motor, jadi gapapa kan?" Tanya Darren seraya tersenyum canggung.

Revan tersenyum, tangannya bahkan terangkat untuk menggaruk kepalanya yang tak gatal. Entahlah, Revan sendiri bingung harus menyikapinya seperti apa. Bukannya tidak mau, hanya saja....

"Kenapa? Lo gak mau pulang naik motor? Atau mau gue pesenin taksi?" Tanya Darren lengkap dengan perasaan bersalahnya. Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa menggeleng cepat sebagai jawaban.

"Bukan gituuu"

"Terus?"

Revan kembali mengalihkan atensinya kearah motor dihadapannya, "Lo gak ada niat nganterin gue ke liang lahat kan?"

"Hahh?" Teriak Darren lengkap dengan nada ketidakpercayaannya. Rahangnya bahkan terbuka tanpa tau caranya menutup kembali.

"Gini - gini gue masih trauma boncengan sama lo" balas Revan seraya mempoutkan bibirnya kesal. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren terlihat tak kuasa menahan gelak tawanya.

"Gapapa kali, lagian gue juga kangen denger puisi dadakan lo kaya waktu itu" balas Darren di sela - sela tawanya.

Revan kembali mempoutkan bibirnya, "Yaa siapa suruh lo ngeselin?"

"Mau nyoba lagi gak?"

"Gak makasi. Gue mending pulang jalan kaki daripada harus boncengan sama lo lagi. Bukannya sampe rumah, yang ada gue masuk surga beneran"

"Yahhh, padahal gue udah kangen denger puisi dadakan lo" goda Darren yang sukses membuat Revan memutat bola matanya malas.

"Lo kalau mau nantang malaikat maut mending sendiri aja. Gak usah ngajak - ngajak"

"Wahhh, secara gak langsung lo ngeremehin skill pembalap gue, Ree" balas Darren tak terima.

"Kalau kata orang - orang terlalu cepat balapmu, hingga surga menjadi finis terakhirmu. Dan gue? Gue cuma belum siap buat mati, udahh?"

"Padahal gue baru mau ngasih tau gimana rasanya terbang sambil naik motor" balas Darren yang sukses membuat Revan menjatuhkan rahangnya tak percaya.

"Gue rasa otak lo ketinggalan di jok motor deh, Darr" ujar Revan seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa tertawa lepas karenanya.

Darren tak pernah menyangka jika menggoda Revan akan semenyenangkan ini. Wajah kesal Revan entah kenapa sukses membuat mood nya membaik. Dan sayangnya, Darren baru menyadari jika Revan sangat berpengaruh penting dalam hidupnya.

Darren terkekeh sebelum akhirnya mengusak lembut rambut adiknya. Merangkul tubuh munggil tersebut sebelum berlalu menuju tempat parkir.

"Gue janji, kali ini gue bakal lebih hati - hati lagi" ujar Darren lengkap dengan nada lembutnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa menatap tak percaya kearahnya.

"15 km/jam?"

"Siap laksanakan komandan" balas Darren seraya mengangkat jempolnya keudara.

Revan tersenyum sebelum akhirnya memeluk tubuh Darren dari belakang. Entah kenapa dirinya sangat merindukan moment - moment kebersamaannya dengan Darren. Meskipun jarang, setidaknya itu cukup berharga baginya.

"Wait - wait" ujar Darren yang sukses membuat Revan mengernyitkan alisnya bingung.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" Tanya Revan masih dengan kernyitan dialisnya. Darren menggeleng sebelum akhirnya tersenyum tipis.

"Lo baru aja sembuh. Gue gak mau kalau lo sampe sakit lagi gara - gara masuk angin" ujar Darren seraya melepaskan jaketnya. "Pakek ya?"

"Ngga - ngga. Yakali gue pake jaket lo. Lagian gue juga udah pake jaket kan? Mending lo aja yang makek, Darr" tolak Revan cepat, sebab ia juga tidak ingin jika Darren pulang tanpa menggunakan jaket. Apalagi disaat matahari sedang terik - teriknya, laki - laki itu pasti akan kepanasan nantinya.

"Sekarang yang terpenting bagi gue itu kesehatan lo, Ree. Jadi please, pake! Gausah ngebantah"

"Ya tap—"

"Pake Revan" ujar Darren yang sukses membuat Revan mau tak mau terpaksa menggunakan jaket Darren.

Darren tersenyum sebelum akhirnya mengusap lembut rambut adiknya. "Ini baru adik gue"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang