44. Dipersatukan Karena Luka

4.1K 601 26
                                    

"Sorry ya kalau tadi gue sempet mukul lo pakek centong" ujar Revan seraya membawa langkahnya mendekat kearah Raska. Saat ini keduanya sedang berada di balkon, sama - sama menikmati keindahan angkasa diatas sana.

"Lo suka bintang juga?" Tanya Raska, setidaknya tepat setelah netranya tidak sengaja memperhatikan bagaimana kagumnya sosok Revan saat ini.

"Bintang itu udah gue anggep kayak sahabat gue sendiri, gue selalu ceritain semua masalah gue sama bintang"

"Dan gue juga sering ngelakuin hal itu" ujar Raska yang sukses membuat Revan mengalihkan antensinya.

"Lo serius?" Tanya Revan yang langsung di jawab anggukan pelan oleh Raska.

"Percaya atau engga, suatu saat kita bakal jadi bagian dari bintang - bintang disana"

Revan tersenyum, menyetujui apa yang baru saja Raska katakan. Tidak bisa di pungkiri jika mereka memang memiliki luka yang sama, namun dengan rasa yang berbeda.

"Dari yang gue liat, lo kayaknya punya masalah juga"

"Bukannya semua orang pasti punya masalah ya?" Tanya Raska tanpa mengalihkan atensinya dari angkasa diatas sana.

"Iya lo bener"

Raska tersenyum, tangannya bahkan terangkat untuk menepuk pelan pundak Revan. "Duduk disitu yuk?" Ajak Raska seraya menunjuk sebuah bangku yang memang sengaja di letakkan di balkon. Karena biasanya Raska akan duduk disana seraya menikmati keindahan angkasa di atas sana.

"Bolehh"

Keduanya tampak diam, berusaha menikmati jeda yang sempat tercipta. Namun semuanya tidak berlangsung lama, karena yang terjadi setelahnya adalahh—

"Dari dulu gue bahkan gak mau tinggal di Bandung"

"Kenapa? Bukannya disana bagus ya? Terus lo juga gak sendiri disana. Mama lo disana kan?"

Raska tersenyum tipis, "Kadang apa yang kita lihat emang gak sesuai sama realita, Ree. Nyatanya gue lebih nyaman tinggal di Jakarta"

"Gue boleh tau kenapa?"

"Mama gue sakit, dia di Bandung buat berobat. Sedangkan gue? Gue terpaksa harus ikut pindah supaya ada yang jagain mama. Sedangkan papa? Sebagian besar pekerjaan papa ada di Jakarta, jadi dia gak bisa ikut pindah ke Bandung"

"Mama lo sakit?"

"Paru - parunya bermasalah. Kalau gak salah waktu itu gue baru kelas dua SMP"

"Semoga mama lo bisa cepet sembuh ya"

"Gak ada harapan lagi, Ree"

"Maksud lo?"

"Gue bahkan gak tau mama gue bisa bertahan sampai kapan. Gue kesini juga gara - gara permintaan mama. Mama pengen ketemu papa sebelum akhirnya dia bener - bener pergi" ujar Raska lengkap dengan air matanya yang berkaca - kaca.

"Dulu gue rela ninggalin semua orang yang gue sayang demi mama. Gue ninggalin papa, ninggalin sahabat - sahabat gue, ninggalin rumah, sampe ninggalin hobby gue. Bahkan dulu, setiap apapun yang gue lakuin. Gue pasti selalu inget Jakarta"

"Tapi gue sadar, kalau gue gak boleh egois. Mama butuh gue, dan gue harus nemenin dia. Tapi kayaknya tuhan terlalu sayang sama mama, makannya mama disuruh pulang kesurga lebih cepet daripada gue" lirih Raska, kali ini air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah sebelumnya.

"Gue ngerti banget posisi lo, Ras. Tapi gue tau kalau lo itu orang yang kuat. Jadi gue percaya kalau lo pasti bisa ngelewatin semuanya" ujar Revan lengkap dengan senyuman tipisnya. Senyuman yang entah kenapa sukses membuat perasaan Raska jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Raska baru menyadari jika sosok Revan begitu spesial. Bahkan dirinya tidak enggan sama sekali menceritakan semua masalahnya pada Revan.

"Lo termasuk orang yang beruntung, Ras. Lo masih punya orang tua yang sayang banget sama lo. Meskipun lo harus ninggalin semuanya, seenggaknya lo berkorban demi keluarga lo. Sekali lagi gue bilang, lo orang yang beruntung Ras"

Raska tersenyum, "Kita baru aja kenal, tapi lo udah bisa ngertiin gue sejauh ini. Thank's"

"Satu - satunya alasan orang bisa ngertiin setiap luka yang kita rasain cuma satu, Ras. Orang itu juga terluka" lirih Revan yang sukses membuat Raska mengalihkan atensinya kearah Revan.

"Lo mau cerita sama gue?"

"Gue?" Tanya Revan yang langsung di jawab anggukan oleh Raska.

"Kaya yang lo bilang tadi, secara gak langsung lo udah bilang ke gue kalau lo juga terluka, Ree"

"Gue gak papa"

"Lo gak percaya sama gue?"

Revan menggeleng pelan sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Gue bahkan gak pernah ngerasain kasih sayang keluarga gue. Mereka semua ngebenci gue, bahkan mereka gak pernah nganggep gue ada"

"Gue bahkan gak tau kenapa mereka bisa sebenci itu sama gue. Gue sering dipukul, di tampar, bahkan sering di kunci di gudang. Gue nangis, tapi mereka sama sekali gak peuli"

"Dulu gue cuma punya mama sama Darren. Tapi setelah mama meninggal, gue gak tau kenapa tapi Darren justru ikut ngebenci gue"

"Kalau gue boleh tau, Darren itu siapa lo?"

"Dia kakak gue"

"Terus sekarang hubungan lo sama Darren, gimana?"

"Kita udah sempet baikan, tapi setelah itu gue justru ngebuat dia dalam bahaya. Gue pembawa sial, gara - gara gue Darren sakit"

"Maksud lo?"

"Sehari setelah kita baikan, mobil yang gue naikin sama Darren kecelakaan. Kita mau ngehindarin truck, tapi kita justru nabrak pohon. Dan sekarang, Darren kritis"

"Itu bukan salah lo, Ree. Semuanya murni kecelakaan"

"Kata papa semuanya salah gue. Gara - gara Darren deket sama gue, dia jadi kena musibah. Gue cuma pembawa sial di hidup Darren. Bahkan papa bilang gue bawa pengaruh buruk buat Darren. Kadang gue jadi mikir—" Revan sengaja menjeda kalimatnya sejenak.

"—Apa gue seburuk itu?"

"Papa lo ngomong gitu?" Tanya Raska masih dengan ketidakpercayaannya. Ia tidak pernah menduga jika masih ada orang yang jauh lebih terluka dari dirinya. Salah satunya Revan.

"Papa bahkan nyuruh gue pergi dan jangan pernah muncul dihadapan Darren lagi"

"Jadi ini alasan lo ada disini?" Tanya Raska yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Revan.

"Kalau gitu apa boleh gue minta satuhal sama lo?" Tanya Raska yang sukses membuat Revan tersenyum tipis.

"Lo boleh minta apapun yang lo mau. Keluarga lo udah cukup baik sama gue, jadi gak ada salahnya kalau gue nurutin permintaan lo"

"Gue minta lo lupain semua masalah lo. Lupain semua hal yang ngebuat lo sedih, sekalipun itu keluarga lo. Sekarang lo udah tinggal dirumah gue, jadi secara gak langsung sekarang lo punya gue. Lo adik gue, dan gue gak bakal pernah ngebuat lo ngerasain yang namanya luka lagi"

Revan tersenyum, sebelum akhirnya berhambur kepelukan Raska. "Iya gue janji"

"Satu lagi"

"Lo boleh istirahat, lo boleh sedih, lo boleh marah. Karena cuma itu yang ngebuat lo jadi manusia. Tapi satu yang perlu lo inget, lo gak boleh nyerah" ujar Raska yang sukses membuat Revan menitikkan kembali air matanya.

"Apa setelah ini gue boleh bilang sesuatu sama lo, Ras"

"Lo boleh, karena sekarang lo adik gue"

"Gue cuma mau bilang kalau gue sayang sama lo. Gue bahkan berterimakasih sama tuhan karena dia udah ngirim orang kayak lo di kehidupan gue"

"Bukan cuma lo, tapi gue juga. Gue beruntung bisa ketemu orang sebaik lo"

"Percaya atau engga kita dipertemukan karena luka yang sama, tapi beda rasa"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now