09. Tidak Sejalan

5.8K 712 6
                                    

Darren, laki laki tersebut terlihat membawa langkah pelannya menyusuri lorong sekolah. Sosoknya tampak abai, tidak peduli dengan seluruh pasang mata yang kini tengah menatap kagum kearahnya.

Tidak, bukannya Darren terlalu percaya diri atau apalah itu. Disini dirinya hanya berbicara sesuai fakta yang ada. Karena percaya atau tidak, dirinya memang tampan bukan?

Darren menghentikan langkahnya, tepat setelah netranya tidak sengaja mengarah ke tengah lapangan. Ralat, lebih tepatnya pada sosok yang saat ini tengah bermain basket bersama kedua temannya.

Entah kenapa sosok Revan selalu sukses mengambil alih atensinya. Bagaikan magnet, mau sekuat apapun dirinya berusaha untuk menjauh— tapi selalu gagal karena Revan seolah olah menariknya hingga tidak dapat berkutik.

Mau sebenci apapun dirinya pada Revan, tetap saja ia tidak bisa untuk berhenti peduli. Entah apa alasannya, yang jelas semua hanya perihal cara.

"Darren"

Darren mengalihkan atensinya, tepat setelah sosok Revan memanggilnya dengan begitu lantang. Dapat Darren lihat, jika saat ini Revan tengah berjalan menghampirinya— dan tentunya dengan sebuah bola basket di tangan kanannya.

"Apa?"

"Lo darimana?"

"Ga darimana"

"Gue tau kalau lo baru aja bolos jam pertama"

"Terus gue peduli?" Balas Darren abai, sedangkan Revan hanya bisa menghela nafasnya pelan.

"Tadi pagi juga... kenapa lo ninggalin gue? Katanya mau berangkat bareng, tapi—"

"Emang lo siapa berhak ngatur-ngatur gue?"

"Yaaa tapi kan lo—"

"Mending sekarang lo minggir, ga usah halangin jalan gue" perintah Darren dengan sedikit membentak. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa menatap malas kearah sang kakak.

"Lo jadi kakak ga ada manis-manisnya dikit apa? Serem amat"

"Gue bilang minggir ya minggir. Punya kuping kan?" Kesal Darren lengkap dengan nada malasnya.

Revan mempoutkan bibirnya kesal. Bagaimana tidak? Mengingat bagaimana menyebalkannya sosok Darren saat ini.

"Gue punya kuping ya. Enak aja lo ngatain gue ga punya kuping"

"Minggir"

"Kenapa harus gue yang minggir? Kalau lo mau lewat ya lewat aja. Jalanan gede woy" kesal Revan yang sukses membuat Darren menatap sinis kearahnya.

Tanpa pikir panjang Darren langsung membawa langkahnya pergi dari sana, melewati sosok Revan tanpa berniat mengucapkan salam perpisahan terlebih dahulu. Ya meskipun Darren hanya pergi ke kantin, tapi salam perpisahan begitu penting bagi seorang Revan.

Dirinya baru saja ingin menghentikan langkah sang kakak sebelum akhirnya ia urungkan kembali. Tepat setelah netranya tidak sengaja menangkap bercak darah pada seragam sang kakak.

"Habis berantem sama siapa?" Singkat, padat dan jelas. Setidaknya kata - kata tersebut sukses membuat Darren menghentikan langkahnya seketika.

"Siapa yang berantem?"

"Lo nyuruh gue buat gak berantem lagi, tapi sekarang? Lo justru ingkar janji Darr"

"Gak usah sok tau, apalagi nambah drama. Alay" balas Darren tanpa berani menatap sorot mata sang adik.

"Seragam lo ada bercak darah, siku lo juga luka, dan—" Revan sengaja menggantungkan kalimatnya, langkahnya ia bawa mendekati Darren, sedangkan matanya terlihat mengamati wajah sang kakak sebelum akhirnya tertawa remeh.

"Muka lo lebam" lanjutnya

Darren terdiam, tidak ada kata - kata pedas yang terlontar seperti biasanya. Dirinya ingin menyangkal, tapi rasanya percuma. Karena Revan telah mengetahui semuanya.

"Iya gue berantem"

Revan tersenyum tipis, terlihat jelas jika saat ini sosoknya sedang menahan kekecewaan. Ia ingin marah, tapi ia ingat jika dirinya bahkan tidak memiliki hak untuk marah. Apalagi mengingat jika keberadaannya tidak pernah di inginkan oleh sang kakak. Lalu untuk apa ia marah?

"Kalau kaya gini mending kita ga usah buat janji. Mulai sekarang lo bebas mau berantem atau apapun itu. Semuanya terserah lo, dan gue ga bakal ngelarang sama sekali. Begitupun sebaliknya"

"Maksud lo?" Tanya Darren lengkap dengan kernyitan di alisnya.

"Gue rasa lo cukup pinter buat ngertiin semuanya" ujar Revan sebelum akhirnya melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Darren yang hanya bisa mengepalkan tangannya kuat - kuat.

Seharusnya ia abai, dan bersikap seolah olah tidak peduli sama sekali. Tapi kenapa rasanya seperti ada yang mengganjal? Apalagi setelah melihat bagaimana kecewanya sosok Revan tadi.

Sebenarnya Darren kenapa? Seharusnya ia tidak usah peduli, seharusnya ia juga tidak usah terlalu memikirkan konsekuensinya. Tapi kenapa  hati dan otaknya serasa tidak mau sejalan?

Kenapa?

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now