56. Keputusan Wira

4.4K 540 26
                                    

Kira - kira butuh waktu sekitar dua jam tiga puluh menit lamanya untuk Wira sampai di Bandung. Sedari tadi pikirannya sangat kacau, entah kenapa perasaan takut justru menghantuinya. Apakah ini yang dinamakan penyesalan? Jika iya, kenapa dampaknya begitu kentara?.

Wira menggeleng cepat, berusaha menepis jauh - jauh pikirannya. Karena yang terpenting baginya sekarang adalah Revan. Alasannya bukan karena mulai berempati, hanya saja Wira tidak ingin jika Darren akan membencinya nanti.

Dengan sedikit berlari, akhirnya Wira sampai di depan pintu ICU. Kehadirannya bahkan sukses membuat Raska nyaris tak percaya? Karena bagaimana mungkin laki - laki kejam seperti Wira akan membantunya?

"Mau apa anda kesini?"

"Dimana Revan?"

"Revan masih ditangani. Kondisinya memburuk" ujar  Raska yang sukses membuat Wira merasakan sesuatu yang aneh pada perasaannya. Semacam rasa takut atau tidak ingin kehilangan.

"Saya akan mendonorkan darah saya untuk Revan" ujar Wira yang sukses membuat Raska mengangguk sebagai jawaban.

"Anda sudah datang kesini, jadi secara gak langsung anda emang mau donorin darah anda untuk Revan. Jadi tidak usah di perjelas" ujar Raska yang sukses membuat Wira berusaha mati - matian menahan kesabarannya.

"Keputusan anda sudah tepat. Dan semoga setelah ini anda juga bisa membuka hati untuk Revan"

"Jangan berlebihan, niat saya cuma mau nolongin Revan. Untuk selebihnya, dia tetap bukan tanggung jawab saya" ujar Wira yang sukses membuat Raska mengulum senyum remehnya.

Bahkan tanpa mereka sadari, sosok Fahri tengah mengamati dari jauh. Dirinya hanya tidak ingin jika Wira sampai melakukan sesuatu yang tidak di inginkan nantinya. Karena mau bagaimanapun, Fahri sangat mengenal bagaimana watak dari seorang Mahawira yang sebenarnya.

"Ruang tranfusi ada di sebelah sana, sebaiknya om segera pergi sekarang. Waktu kita udah gak banyak lagi" ujar Raska yang langsung membuat Wira membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan sosok Raska yang saat ini bisa bernafas lega kembali.

Karena jujur, dirinya benar - benar takut jika seandainya Wira tidak datang sekarang. Jadi percaya atau tidak, untuk saat ini dirinya cukup bersyukur karena untuk pertama kalinya Wira tidak mementingkan egonya.

"Papa gak nyangka kalau kamu berhasil bujuk Wira buat kesini" ujar Fahri yang sukses membuat Raska kaget bukan main. Bagaimana tidak? Seharusnya laki - laki tersebut bersembunyi bukan? Bagaimana jika Wira sampai melihatnya? Bisa berantakan semuanya.

"Papa ngapain nongol sih?" Gerutu Raska seraya menarik tangan Fahri agar menjauh dari sana.

"Wira udah gak ada, jadi dia gak mungkin tau kalau papa ada disini"

"Hmm"

"Papa masih gak nyangka kalau dia bakal bela - belain buat dateng kesini"

"Jangankan papa, aku aja masih gak nyangka" balas Raska yang sukses membuat Fahri menepuk pelan pundak putranya.

"Kalau bukan karena kamu, kita mungkin udah kehilangan Revan sekarang"

"Bukan cuma aku, pa. Aku rasa Darren juga berperan pentinh disini"

"Darren?"

"Kakaknya Revan" ujar Raska yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Fahri.

"Seharusnya sih dia dateng sekarang. Tapi gatau kenapa, tadi aku cuma liat om Wira doang"

"Papa rasa Darren masih syok. Butuh waktu lama buat memperbaiki semuanya" ujar Fahri lengkap dengan senyuman khasnya.

"Papa bener"

***

Wira menghela nafas pelan, netranya ia alihkan kearah sosok yang saat ini terlihat begitu nyaman dalam tidurnya. Mata tersebut begitu sayu, dan entah kenapa Wira justru takut jika dirinya mungkin tidak akan pernah melihat binarnya lagi. Wira masih belum mengerti dengan perasaannya saat ini. Dirinya masih sagat membenci, tapi disisi lain dirinya juga takut kehilangan.

"Selain buat nyamuk, saya udah rela kasih darah saya buat kamu. Jadi kamu harus bangun, saya tunggu ucapan terimakasih kamu!"

"Jangan mati dulu, atau saya gak bakal maafin kamu" Lanjut Wira sebelum akhirnya mengalihkan atensinya dari arah Revan. Kemanapun itu, asal tidak pada Revan.

Waktu berjalan cukup lama, tranfusi darahpun sudah selesai sekitar lima belas menit yang lalu. Dan saat ini? Setidaknya kondisi Revan jauh lebih baik daripada sebelumnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Revan?" Tanya Wira yang sukses membuat Raska mendecih sinis. Apakah tadi merupakan bentuk dari penyesalan atau sebuah rasa penasaran? Oh ayolah, rasanya Raska benar - benar muak menghadapi laki - laki dihadapannya.

"Urusan anda disini sudah selesai, sebaiknya anda pergi sekarang"  balas Raska dengan begitu santai. Mengabaikan jika saart ini sosok Wira tengah menatap tidak percaya kearahnya.

"Apa ini cara kamu bersikap sama orang yang lebih tua?"

"Jika itu bukan anda, saya bahkan bisa bersikap jauh lebih sopan dari ini Tuan Mahawira" balas Raska tanpa rasa takut sedikitpun.

"Saya tidak akan pergi" ujar Wira yang sukses membuat Raska mengernyitkan alisnya bingung.

"Untuk apa anda disini? Saya rasa keberadaan anda sudah tidak di butuhkan lagi"

Wira terkekeh sinis, "Sikap kamu yang seperti ini justru mengingatkan saya pada seseorang. Cukup menarik"

Raska tertawa, ia bahkan tidak peduli jika tindakannya sukses membuat Wira menautkan alisnya bingung. "Apa yang anda maksud adalah orang yang saat ini berdiri di belakang anda?" 

Raska terlihat menunjuk menggunakan dagunya, sedangkan sosok yang saat ini berdiri di belakang Wira hanya bisa menunjukkan seringaiannya.

"Apa kabar Tuan Mahawira?" Ujarnya sarat akan penekanan di setiap katanya. Sedangkan Wira? Laki - laki tersebut hanya bisa menatap tak percaya kearah sosok yang saat ini sudah berdiri di hadapannya.

"Fahri?"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now