74. Selamat Tidur

7.8K 443 41
                                    

Tidak ada satu orangpun yang bisa merubah takdir seseorang. Hidup dan mati seseorang bak sudah dirancang dengan baik oleh semesta. Takdir memang misterius, bahkan tidak ada yang bisa menebaknya.

Suka, duka, lara semuanya telah diatur dengan sebaik mungkin. Seperti halnya yang terjadi sekarang. Tidak ada yang tau jika takdir akan sekejam ini pada mereka.

Tidak ada yang bisa menduga jika semua skenario yang selama ini mereka jalani akan berakhir seperti ini. Bahkan jika boleh memilih, ini bukan yang mereka inginkan.

Jika bisa bahagia, kenapa selalu luka yang menemani? Jika ingin hidup kenapa harus disambut dengan kematian? Jika bisa datang, kenapa harus pergi? Disaat kita menginginkan A, kenapa harus B yang kita dapatkan?

Darren hanya meminta satu hal, itupun tidak sulit. Tapi kenapa takdir justru mempermainkannya? Darren hanya ingin Revan sembuh, tapi takdir justru melakukan sebaliknya?

Saat ini— Darren benar - benar merasa dunianya hancur. Tidak ada lagi alasan untuknya bertahan. Apa yang selama ini menjadi alasannya, justru memilih pergi meninggalkannya. Bukan sehari dua hari, bukan juga minggu atau bulan melainkan untuk selamanya.

Revan, laki - laki tersebut telah menghembuskan nafas terakhirnya. Bahkan laki - laki tersebut tidak sempat meninggalkan sepatah dua patah kata. Darren hancur, tapi kenapa Revan terlihat begitu tenang?

Bahkan disaat tidak ada lagi nafas yang berhembus melalui hidungnya, sosok tersebut justru tersenyum dalam pejamnya. Seolah - olah ini memang pilihannya.

Tapi kenapa? Kenapa Revan lebih memilih untuk pergi daripada diam bersamanya? Tidakkah Revan tau jika saat ini Darren sangat membutuhkannya?

Darren terisak, penampilannya saat ini bahkan terlihat jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Mata bengkak, wajah yang kian lusuh serta rambut yang acak - acakan. Bisa dikatakan jika saat ini Darrenlah yang paling menderita.

Ia bahkan menyesal jika selama hidupnya, ia tidak pernah memberikan kenangan yang baik untuk Revan. Karena alih - alih membahagiakan, yang ada dirinya justru membuat Revan semakin menderita.

"Revannn bangunnnnnnnn"

"Reee bangu Reee"

"Gue tau lo denger gue, ayo bangun"

"Bangunn bangsattttt"

"Lo udah janji gak bakal ninggalin gue, tapi sekarang kenapa lo malah pergi Revan"

"Raska, kenapa lo diem aja? Bangunin Revan, dia gak boleh pergiiii hikss"

"Darren please tenang"

"GIMANA GUE BISA TENANG KALAU REVAN MILIH BUAT PERGI?"

"Revan udah tenang disana, Darr"

"Engga Ras, Revan gak boleh pergii. Engga"

"Revan bangun, lo bilang lo sayang gue. Tapi kenapa lo gak mau dengerin gue?" Tangis Darren seraya memeluk tubuh ringkih adiknya. Air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah. Saat ini dirinya benar - benar hancur.

"Revan lo gak boleh matii hikss" lirih Darren seraya menatap sendu kearah sosok yang saat ini terbaring tak sadarkan diri. Darren bahkan tidak pernah menduga jika semua ini akan terjadi padanya. Ia bahkan tidak pernah tau jika dirinya akan merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan.

Kehilangan orang yang paling kita sayang ternyata jauh lebih menyakitkan daripada ditusuk ribuan pisau. Saat ini Darren bahkan ingin menyusul Revan, sudah tidak ada harapan lagi untuknya bertahan di dunia.

Sedangkan kini tidak jauh dari posisinya sosol Adrian dan juga Vano hanya bisa menatap kosong kearah Revan. Segala kenangan saat mereka bersama kini kembali terngiang - ngiang di benaknya. Wajahnya, senyumannya, dan segala canda tawanya bahkan masih terpatri jelas di ingatannya.

Vano jatuh terduduk, air matanya bahkan sudah tidak segan lagi untuk membasahi pipinya. Vano tidak pernah menduga jika sahabat yang selama ini bahkan sudah ia anggap seperti keluarga sudah pergi meninggalkannya.

Vano bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hari - harinya nanti tanpa Revan. Jika tidak ada Revan, lalu dengan siapa ia bolos sekolah? Jika bukan Revan, maka dengan siapa ia akan bercanda? Jika tidak ada Revan? Apakah Vano masih bisa tersenyum?
Selama ini hanya Revan yang selalu ada disisinya, menemaninya, bahkan menghiburnya.

"Kenapa lo pergi, Ree?"

Adrian mengacak rambutnya frustasi, bahkan berkali - kali ia benturkan kepalanya pada dinding. Kenyataan yang saat ini ia terima sudah cukup membuatnya menderita. Revan bukan sekedar sahabat baginya, Revan adiknya bahkan keluarga.

Adrian tidak pernah menduga jika sosok yang selama ini terlihat baik - baik saja justru akan berakhir seperti ini. Seluruh lukanya ia sembunyikan melalui tawa, hanya saja Adrian tidak pernah menduga jika semuanya akan berakhir dengan kepergian.

"Gue tau lo capek, tapi kenapa lo harus pergi Ree? Hikss"

Semuanya terlihat hanyut dalam kesedihan masing - masing. Wira bahkan jatuh tak sadarkan diri dan sekarang tengah ditangani oleh dokter dengan Fahri yang setia menemani.

Darren, Vano dan juga Adrian. Ketiga sosok tersebut bahkan bisa dikatakan jauh dari kata baik. Darren tidak segan untuk menyakiti dirinya sendiri, Vano yang berubah menjadi lebih pendiam dari sebelumnya serta Adrian yang tidak henti - hentinya menangis.

Lain halnya dengan Raska, laki - laki tersebut bahkan terlihat tenang dalam diamnya. Netranya tidak ia alihkan sedikitpun dari arah Revan, senyuman tipis bahkan terbit di bibirnya.

Bohong jika Raska mengatakan dirinya baik - baik saja. Ia terluka, hanya saja untuk saat ini dirinya menghargai keputusan Revan. "Apapun pilihan lo, gue harap setelah ini lo bisa bahagia Ree. Semua penderitaan lo udah selesai, lo ga bakal ngerasain sakit lagi. Dan gue harap lo tenang di atas sana"

"Sekarang lo punya tuhan, jadi ga ada satupun alasan buat lo sedih - sedih lagi. Kepergian lo mungkin buat gue menderita, tapi seenggaknya gue juga lega karena setelah ini lo bahagia Ree"

"Gue ga mau ngelupain lo, tapi tolong. Buat gue kuat untuk ngejalanin semuanya, Ree. Bukan cuma gue, tapi kita"

"Kita sayang lo, Ree. Selamanya pun gak bakal pernah berubah"

"Selamat tidur, Revan. We love you so much"

TAMAT

R E V A NWhere stories live. Discover now