37. Takdir Semesta

4.2K 605 31
                                    

TRIPLE UP! Harus rame✌🏻

Seharusnya Revan tidak pernah lupa dengan takdirnya. Karena mau sekuat apapun dirinya berkelit, kesialan akan selalu datang menghampirinya. Ia bahkan tidak bisa menduga jika semuanya akan berakhir seperti ini. Semua bahagia yang sempat ia rasakan kini justru berubah menjadi mala petaka.

Ia kira jika semuanya telah berakhir, tapi sayang— karena lagi - lagi takdir tengah mengujinya.  Selama ini, tidak ada yang pernah bisa menebak takdir bukan? Takdir terlalu misterius, sulit di mengerti dan nyaris tidak bisa di jabarkan. Seperti halnya yang terjadi sekarang—

Darren pingsan, bahkan darah terus mengalir di keningnya. Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut benar - benar  kacau. Ia bahkan tidak peduli dengan luka yang ads di tubuhnya, karena yang terpenting baginya sekarang adalah keselamatan Darren. Revan bahkan sudah berusaha sebisa mungkin untuk menyadarkan Darren, tapi hasilnya tetap nihil. Darren tak kunjung membuka matanya, bahkan kini wajahnya terlihat semakin pucat.  Revan memejamkan matanya sejenak, berharap seseorang datang membantunya.

Mobil mereka baru saja menabrak pohon besar karena berusaha menghindari supir truk yang sedikit ugal - ugalan. Tapi bukannya berhasil menghindar dengan selamat, mereka justru menabrak pohon besar dekat pembatas jalan. Benturan yang cukup keras sukses membuat Darren tak sadarkan diri, sedangkan Revan? Saat ini laki - laki tersebut hanya bisa menangis di sela - sela kesadarannya. Saat ini dirinya benar - benar mengkhawatirkan Darren, laki - laki itu bahkan bisa di katakan jauh dari kata baik.

"Darr, please jangan buat gue takut" lirih Revan di sela - sela kesadarannya. Sosoknya bahkan berusaha menjangkau kakaknya, tidak peduli jika kondisinya bahkan tidak bisa di katakan baik - baik saja.

"Semuanya gak balal terjadi kalau aja tadi lo gak nganterin gue, Darr. Ini salah gue, maafin gue" lirih Revan seraya mengamati bagaimana darah tersebut terus mengalir di wajah kakaknya. Revan ingin menolong, tapi kondisinya juga sedang tidak baik - baik saja. Jangankan untuk berdiri, bernafaspun ia masih kesulitan.

Sekarang Revan hanya bisa berandai - andai.
Andaikan dirinya tidak menyetujui permintaan Darren. Andaikan dirinya tidak meminta Darren untuk melewati jalan ini dengan alasan agar cepat sampai di tujuan. Mereka mungkin tidak akan mengalami kecelakaan dan Darren tidak akan menjadi korbannya.

Tapi sayang, karena sekarang Revan hanya bisa menyesali keputusannya. Semuanya tidak akan terjadi jika Darren tidak berada di dekatnya. Dan sekarang? Revan justru mengulang kembali kejadian beberapa tahun yang lalu. Jika dulu dirinya kehilangan mama, apa mungkin sekarang ia akan kehilangan Darren?

Tidak, membayangkannya pun rasanya Revan tidak bisa. Ia tidak mungkin membiarkan Darren pergi begitu saja. Revan memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya memilih keluar dari dalam mobil, membawa langkahnya menuju pintu sebelah kanan lalu membantu Darren untuk keluar dari dalam mobil. Revan bahkan tidak peduli dengan kondisinya, karena yang saat ini menjadi prioritasnya adalah Darren. Darren jauh lebih butuh pertolongan daripada dirinya. Kalaupun harus ada yang pergi, itu dirinya bukan Darren.

Dengan langkah pelannya Revan membawa Darren sedikit menjauh dari mobil. Takut - takut jika mobil tersebut sampai meledak dan melukai keduanya. Revan meringis pelan sebelum akhirnya mendudukkan Darren di dekat pohon besar.

"Darr, please bertahan" lirih Revan seraya meletakkan kepala Darren pada pangkuannya. Tidak peduli jika seragamnya mulai berlumuran darah.!

Revan menangis, ia harap ini mimpi. Tapi sayang, harapannya seolah - olah tak di dengar. Ini bukan mimpi, dan sekarang Darren benar - benar butuh pertolongan. Siapapun itu, Revan berharap seseorang datang membantunya.

"Tolongggggg"

"To—longggggggg"

"Uhukkkk, tolonggg" Revan berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan kesadarannya. Setidaknya sampai dirinya mendapat pertolongan untuk Darren.

"Tolonggggggggggg"

***

Rumah Sakit Harapan

Plakkk

Satu tamparan sukses mendarat dengan mulus di wajah Revan, sedangkan Revan? Ia hanya bisa tersenyum sendu menerima semua perlakuan Wira.  Revan rasa dirinya pantas mendapatkan semua ini.

"Setelah kamu merenggut nyawa istri saya, sekarang kamu juga mau merenggut nyawa putra saya?" Teriak Wira sarat akan emosi, tidak peduli jika tindakannya sukses menjadi pusat perhatian di rumah sakit.

"Maafin aku pa"

"Kamu pikir dengan kata maaf kamu Darren bisa sembuh? Engga kan? Kalau kamu lupa, Darren kritis gara - gara kamu Revan!"

"Ini juga bukan kemauan aku, pa" lirih Revan lengkap dengan isak tangisnya. Karena percaya atau tidak, saat ini dirinya juga terluka.

"Seharusnya dari awal kamu memang tidak usah dekat dengan putra saya. Keberadaan kamu disini cuma jadi pembawa sial Revan, kamu pembawa sial"

"Paaaa—"

"Sekarang apa kamu puas? Darren kritis, dan sekarang saya bahkan gak tau harus apa. Kamu puas?"

"Maafin aku, pa. Ini salah akuu" lirih Revan seraya menundukkan kepalanya pelan. Sedangkan Wira? Laki - laki tersebut tampak menarik kasar tubuh Revan dan mendorongnya hingga terbentur dinding cukup kuat. Revan meringis, Wira bahkan lupa jika dirinya juga terluka. Revan ingin mengeluh, tapi ia sadar jika dirinya memang pantas mendapatkan semuanya.

"Ini semua emang salah kamu, Revan. Keberadaan kamu di keluarga saya gak lebih dari orang pembawa sial. Saya bahkan nyesel membesarkan anak gak tau diri seperti kamu"

"Seharusnya dulu yang mati itu kamu, bukan Rossa. Dan sekarang? Seharusnya yang ada di dalam sana itu kamu, bukan putra saya!" Lanjut Wira sebelum akhirnya mendorong kasar tubuh Revan hingga tersungkur kelantai.

Revan menangis, hatinya terluka tapi disisi lain ia juga tidak tau harus berbuat apa. Semuanya terlalu menyakitkan untuk ia tanggung seorang diri.

"Sakit ma, rasanya sakit banget. Aku gakuat, aku capekk" lirih Revan lengkap dengan isak tangisnya.

—Revan—

R E V A NWo Geschichten leben. Entdecke jetzt