50. Kenapa

4.1K 555 14
                                    

Darren membawa langkahnya menuruni anak tangga, ini mungkin adalah hari pertamanya untuk berangkat sekolah kembali. Laki - laki tersebut bahkan terlihat cukup rapi lengkap dengan seragam sekolahnya. Sepatu putih, tas slempang serta hoodie bewarna putih kesukaannya.

"Pa, aku mungkin gak tau apa yang papa bilang sebelumnya sama Revan. Tapi aku minta tolong, bawa Revan kesini lagi" ujar Darren tepat setelah laki - laki tersebut sampai di meja makan.

Wira yang sedari tadi  asik mongoles rotinya menggunakan selai kacang seketika menghentikan aksinya. Netranya bahkan ia alihkan kearah Darren sebelum akhirnya menghela nafas lelah.

"Ini masih pagi, jadi papa gak mau berantem sama kamu dulu Darren" ujar Wira sebelum akhirnya kembali melanjutkan aksinya. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa memejamkan matanya sejenak.

Darren tidak bodoh untuk sekedar mengetahui siapa dalang dibalik kepergian adiknya. Darren tau jika semua ini adalah akal - akalan ayahnya. Hanya saja, Darren sengaja diam agar tidak memperburuk keadaan.

Tapi siapa sangka jika diamnya selama ini justru memberikannya jarak dengan Revan. Apalagi setelah mengingat laki - laki yang bersama Revan waktu ini. Entah kenapa Darren merasa tidak iklas jika harus melihat Revan lebih bergantung pada orang lain di banding dirinya.

Darren kakaknya bukan? Tapi kenapa rasanya dirinya tidak bisa dekat dengan Revan? Seolah - olah ada jarak tak kasat mata yang membatasu interaksi keduanya. Jujur, seringkali Darren merasa iri dengan orang lain. Tapi disisi lain dirinya juga tidak tau harus melakukan apa.

"Aku tau kalau Revan emang bukan anak papa, tapi papa juga gak punya alasan buat ngebenci dia kaya gini. Dia gak salah, dia bahkan gak tau apa - apa. Bahkan kalau di suruh milih sekalipun Revan juga gamau kalau harus lahir dengan cara kaya gini" Darren berusaha memberikan penjelasan, tapi alih - alih menerimanya. Sosok Wira justru lebih memilih untuk abai. Ia bahkan tidak peduli sama sekali dengan apa yang baru saja putranya katakan. Rasa bencinya pada Revan ternyata sudah cukup membuat dirinya kehilangan hati nuraninya.

"Papa gak punya waktu buat ngomongin hal yang gak penting kaya gini, Darren. Jadi mending kamu sarapan dulu habis itu langsung berangkat sekolah"

"Paaaaaaa"

"Jangan buat papa marah, bisa?" Ujar Wira yang sukses membuat Darren bungkam. Darren bahkan tidak memiliki kebranian sama sekali untuk melawan papanya.

"Papa jalan duluan, kamu hati - hati ya. Jangan lupa kabarin kalau ada apa - apa" ujar Wira sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut.

"Apa salah kalau aku berharap keluarga kita bakal kaya dulu lagi?"

***

"Besok kita berangkat ke Bandung" ujar Raska yang sukses membuat Revan mengernyit bingung.

"Kenapa tiba - tiba banget?"

"Mama gue kritis"

"Tante Kinan kritis? Terus sekarang gimana?" Tanya Revan seraya beranjak dari tidurnya, namun buru - buru di tahan oleh Raska. Mengingat jika kondisi Revan bisa dikatakan belum sepenuhnya pulih.

"Papa udah berangkat tadi pagi"

"Semoga nyokap lo gak papa ya" ujar Revan yang sukses membuat Raska mengulum senyum tipisnya.

"Gue takut, Ree—"

"Gue bahkan belum siap kalau harus kehilangan dia"

"Ras, jangan gini. Lo harus yakin kalau nyokap lo pasti bakal sembuh. Percaya sama gue" balas Revan lengkap dengan nada lirihnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Raska bahkan menatapnya dalam diam.

"Kalaupun mama gabisa bertahan, apa lo bisa janji kalau lo gak bakal ninggalin gue juga?"

"Rass?"

"Gue gak mau kalau harus kehilangan orang yang gue sayang untuk kesekian kalinya, Ree"

"Lo tau nyokap lo kan? Percaya atau engga dia itu sosok yang kuat, Ras. Buktinya dia bisa bertahan sampai sekarang dan—"

"Revan" potong Raska yang sukses membuat Revan seketika menghentikan kalimatnya.

"Mama gue mungkin gabisa bertahan lebih lama lagi, tapi apa gue boleh minta satu hal sama lo?"

"Asal itu bisa ngebuat lo bahagia, kenapa engga Ras?"

"Apa gue bisa pegang kata - kata lo?"

"Sebenernya lo mau minta apa sih? Gue bahkan gaktau lo mau minta apa, Ras"

"Cukup janji sama gue, Ree"

"Iya gue janji"

"Gue cuma mau minta satu hal sama lo. Apapun yang terjadi sama mama gue nanti, gue cuma mau lo ngasih kesempatan buat mama gue bertahan hidup dalam diri lo, Ree"

"Mak-maksud lo?" Tanya Revan yang belum mengerti dengan apa yang baru saja Raska katakan.

"Ijinin mama gue buat tetep hidup, meskipun bukan di raganya sendiri"

"Sumpah gue gak ngerti sama sekali, maksud lo apa Ras?"

"Ijinin mama gue buat donorin jantungnya buat lo!" Ujar Raska yang sukses membuat Revan tersentak. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata.

"Gila lo!"

"Ree, tolongg..."

"Kenapa lo jadi pesimis gini, Ras? Nyokap lo pasti sembuh dan gue? Dan gue gak bakal mau nerima donor jantung dari dia!" Revan menegaskan.

"Gue gak mau lagi kalau harus  ada orang yang rela ngorbanin nyawanya cuma buat nyelametin gue. Gue tau lo sayang banget sama nyokap lo, jadi please gak usah gila Ras! Asal lo tau, gue bahkan jauh lebih milih mati daripada harus nerima donor jantung dari nyokap lo!"

"Ree, please ngerti. Udah gak ada harapan lagi buat mama gue. Dan sekarang? Cuma ini satu - satunya jalan Ree"

"Kalau gue bilang engga ya engga. Lo anaknya Ras, seharusnya lo gak ngorbanin nyawa nyokap lo cuma buat orang kaya gue. Seharusnya lo gak boleh pesimis, nyokap lo pasti sembuh ter—"

"Apa lo tetep gak mau sekalipun lo tau kalau semua ini mungkin bakal jadi permintaan terakhir nyokap gue?" Teriak Raska yang sukses membuat Revan bungkam saat itu juga. Air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah.

Dari sekian banyak orang, kenapa lagi - lagi dirinya harus menyebabkan kematian seseorang?

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now