07. Turun Tangan

7K 783 10
                                    

Seperti biasa, sosok Revan kini tengah berdiri di depan cermin. Tangannya terangkat untuk membenahi tatanan rambutnya. Sesekali dirinya juga tersenyum seraya mengamati penampilannya yang bisa di bilang cukup sempurna.

Seragam putih abu, dengan dua kancing bagian atas yang sengaja ia buka cukup memberitahu jika dirinya memang sudah keren dari lahir. Revan terkekeh pelan sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya menuju ruang tamu.

Sosoknya nampak celingukan, berusaha mencari keberadaan seseorang, tapi hasilnya nihil. Karena dirinya tidak dapat menemukan keberadaan sosok tersebut.

"Masa iya sih Darren ninggalin gue? Katanya doang berangkat bareng, tapi malah ninggalin" sungutnya seorang diri.

Revan memutar bola matanya malas, langkahnya ia bawa menuju garasi. Mengeluarkan si Joni dari dalam sana, sebelum akhirnya berlalu membelah jalanan ibu kota yang masih terbilang cukup sepi.

Waktu baru saja menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, masih cukup pagi sebenarnya. Bahkan bisa di katakan jika hari ini adalah hari pertama baginya berangkat sepagi ini.

Revan sendiri tidak mengerti, kenapa dirinya bisa bangun pagi disaat biasanya ia selalu kesiangan. Revan terkekeh, bisa di pastikan jika dirinya akan di ledek habis habisan oleh kedua sahabatnya. Siapa lagi jika bukan si Vano kupret dengan kawannya si setan Adrian.

***

Butuh sekitar lima belas menit lamanya untuk Revan sampai di sekolah tepat waktu. Ralat, lebih tepatnya kepagian. Revan membuka helmnya santai, sesekali sosoknya bersenandung ria seraya membenahi tatanan rambutnya.

"Udahlah van, lo itu emang ganteng" pujinya pada dirinya sendiri.

Revan turun dari motor, netranya ia alihkan kearah pergelangan tanganya— lebih tepatnya pada benda yang melingkar apik disana. Revan menghela nafas pelan, entah kenapa waktu berjalan begitu lama. Sekolah juga masih sepi, jadi percaya atau tidak— Revan benar benar bosan sekarang.

Tapi tunggu, sepertinya ia baru saja menyadari satu hal. Keadaan sekolah saat ini bisa di katakan cukup sepi, mengingat bagaimana lenggangnya tempat parkir saat ini. Motor yang parkir pun bisa ia hitung menggunakan jari. Tapi tunggu, yang menjadi masalah bukanlah parkir kosong atau jumlah motor yang sedikit. Melainkan Darren!

Bukankah laki-laki tersebut telah berangkat lebih dulu? Tapi kenapa Revan tidak melihat motor kakaknya? Sangat tidak etis bukan jika kakaknya masih tertinggal dirumah? Lagipula motornya juga sudah tidak ada di garasi. Jadi besar kemungkinan jika Darren memang sudah berangkat lebih dulu.

Tapi berangkat kemana? Oh ayolah, ini masih pagi— tapi Darren sudah membuatnya senam jantung.

Revan menghela nafas pelan, sebelum akhirnya beralih mengambil ponselnya di dalam tas. Menghidupkannya, dan mulai mengetikkan sesuatu sebelum akhirnya menekan kata panggil pada kontak atas nama Es Batu.

Panggilan pertama, tidak ada jawaban.

Panggilan kedua, masih tetap sama.

Panggilan ketigapun masih sama, hanya suara operator yang terdengar. Tapi meskipun begitu, Revan tidak menyerah sama sekali. Dirinya akan terus menghubungi kakaknya, sampai ia berhasil mendapat jawaban yang kini terus menerus menghantuinya.

"Angkat setan, lagian lo kemana sih? Bikin khawatir aja" ujarnya seorang diri. Revan nyaris menyerah, tapi tidak jadi. Karena yang setelahnya terjadi adalah Darren mengangkat panggilannya. Revan tersenyum, sebelum akhirnya mengajukan beberapa pertanyaan kepada kakaknya tersebut.

"Darren lo dimana sekarang? Kenapa ga ada di sekolah? Terus itu kenapa tadi guenya lo tinggalin? Katanya mau berangkat bareng? Lo gatau aja ya gue udah rela relain bangun pagi biar bisa berangkat sama lo, tapi malah lo tinggal. Gue sampe ga makan, dan lo—"

"Berisikk"

"Ya gimana gue ga berisik kalau lo—"

Tutttt tutttt

Revan membelalakkan matanya tidak percaya, bagaimana mungkin Darren dengan teganya memutuskan panggilannya? Padahal kan dirinya  belum selesai berceramah. Huft, entahlah— seharusnya Revan tidak lupa jika kakaknya tersebut adalah titisan dajjal. Makannya ga ada akhlak.

***
Jika saat ini Revan sudah berada di sekolah, maka lain halnya dengan Darren. Karena saat ini laki laki tersebut sedang berada di salah satu rumah tua yang sudah lama tak terpakai. Di hadapannya kini ada Alvito Prayudi, dengan tiga temannya.

Darren terkekeh sinis, sebelum akhirnya menyorot tajam kearah Vito. Dirinya hanya masih tidak terima dengan apa yang baru saja Vito lakukan  kepada adiknya kemarin.

"Pengecutt"

"Pengecut?" Tanya Vito lengkap dengan kernyitan di alisnya.

"Cuma orang pengecut yang beraninya main keroyokan. Cuma orang pengecut yang beraninya make orang lain sebagai umpan, dan cuma orang pengecut yang suka main cegat" ujat Darren dengan lantang, tidak ada ketakutan sedikitpun yang terlihat dari sorot matanya.

Vito, laki laki tersebut tertawa remeh sebelum akhirnya angkat bicara. "Jadi ini alesan lo nyuruh gue buat dateng kesini? Gue baru tau kalau lo sepeduli itu sama adik lo"

"Sedikit aja lo sentuh dia, lo berhadapan sama gue"

"Kalau gue ga mau?"

"Ga usah main-main sama gue, bangsat"

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now