05. Sebuah Perhatian

8.6K 902 15
                                    

Revan meringis, tepat setelah dirinya merasakan perih di sudut bibirnya. Pukulan Vito ternyata tidak bisa ia remehkan, Revan jadi menyesal karena terlalu banyak bermain sedari tadi. Sekarang dirinya juga yang menderita bukan?

Revan menghela nafa pelan sebelum akhirnya memilih beranjak dari duduknya. Ya, Revan sengaja meminggirkan motornya di tepi jalan. Setidaknya hanya untuk memastikan jika tidak ada satuhal yang dapat memancing kecurigaan papanya. Bisa habis dia, jika papanya sampai tau kalau dirinya baru saja berkelahi.

"Liat aja lo, gue bakal bales lo. Gamau tau, gara gara lo kadar kegantengan gue jadi berkurang satu persen" Gerutu Revan seraya mempoutkan bibirnya kesal. Tapi semuanya tidak berlangsung lama, karena yang selanjutnya terjadi adalah— Revan yang panik bukan main. Bukan apa apa, dirinya hanya baru ingat jika papanya pulang sekarang.

Sial, sepertinya sekarang Revan hanya bisa pasrah jika diharuskan untuk menjadi sasaran empuk papanya. Revan menghela nafas pelan, sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya menuju si Joni, motornya.

Membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan sedang, karena percuma juga dirinya ngebut. Toh dirinya tetap telat.

***

"Dari mana aja kamu?" Celetuk seseorang yang sukses membuat Revan menggigit ujung bibirnya. Tidak bisa di pungkiri jika dirinya benar benar takut sekarang. Karena tidak ada satupun orang yang lebih menyeramkan dari papanya. Bahkan jika diharuskan untuk memilih, dirinya akan jauh lebih memilih dihadapkan dengan seribu preman daripada papanya.

"Udah dari tadi pa?" Tanya Revan sedikit cengengesan, tidak tau harus bersikap bagaimana.

"Papa tanya, kamu habis dari mana?" Wira kembali menegaskan, aura mengintimidasinya terpancar begitu jelas.

"Dari sekolah pa"

"Jam segini?"

"I-iyaa"

"Kamu pikir papa bodoh? Kelayapan kemana kamu?" Ujar Wira lengkap dengan nada meremehkannya. Sedangkan Revan? Laki laki itu hanya bisa menghela nafas pelan.

"Maafin Revan pa. Revan salah"

"Revan Revan, papa heran sama kamu. Papa nyekolahin kamu mahal mahal biar kamu pinter dan gampang buat di atur. Bukannya kaya sampah gini, luntang lantung ga jelas kaya ga di didik sama sekali. Liat kakak kamu, seharusnya kamu bisa contoh Darren. Bukannya kaya gini, bikin malu keluarga" sarkas, setidaknya kata kata itu yang saat ini sukses membuat mental Revan semakin down.

"Maafin Revan pa"

"Kamu mau jadi apa? Berandalan?"

"Revan ngaku salah"

"Ya kamu emang salah, ga ada sejarahnya papa ngebenerin sikap kamu yang kaya gini" Wira kembali menegaskan, sedangkan Revan hanya bisa menundukkan kepalanya takut.

"Kalau ngomong sama papa, liat mata papa. Jangan nunduk, kamu pikir papa patung?"

"Maaf pa"

"Maaf maaf aja terus, habis ini kamu ulangin lagi"

"Maaf pa" jujur, Revan memang tidak tau harus mengatakan apa lagi. Lidahnya terasa kelu, belum lagi kata kata pedas papanya selalu sukses membuat dadanya sesak.

Bahkan jika boleh, Revan rasanya ingin menangis saja. Tapi tidak, ia tidak akan menangis. Mau seberat apapun masalah yang ia hadapi, ia sudah pernah berjanji pada dirinya sendiri jika dirinya tidak akan pernah menangis. Kecuali— dirinya memilih menyerah dengan keadaan.

"Sekarang kamu masuk kamar, papa gamau liat kamu keluar malem ga jelas kaya biasanya lagi"

"Pa-papa tau?"

"Kalau kamu lupa, papa selalu mantau kamu Revan. Dan kamu tau? Hari ini papa bener bener kecewa sama kamu" Ujar Wira lengkap dengan nada remehnya.

"Maafin Revan, pa"

"Masuk ke kamar" perintah Wira dengan sedikit berteriak

"Kamu papa hukum, dan jangan harap malam ini kamu bisa makan" lanjut Wira sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Revan yang hanya bisa menghela nafas pelannya.

"Gamakan juga gapapa, asal itu bisa buat papa seneng. Jangankan ga makan, disiksa pun aku ga pernah keberatan kan?" Lirih Revan pelan, netranya ia gunakan untuk menatap kepergian Wira. Seutas senyum terbit di bibir tipisnya

"Revan kangen"

"Tapi bukannya dapet pelukan, Revan malah dapet hukuman"

"Nakal banget ya Revan, jangan benci Reva pa"

"Maafin Revan, maaf karena sering buat papa kesel" lirihnya pelan sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi menuju kamar.

Tanpa Revan sadari, sosok Darren tengah mengamatinya dalam diam. Darren menghela nafas pelan, ia khawatir— hanya saja, dirinya masih terlalu kaku untuk mengungkapkan semuanya.

"Cara papa mungkin salah, tapi gue yakin kalau papa itu sayang banget sama lo Re" batin Darren sebelum akhirnya berlalu begitu saja.

***

Revan terlihat baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya yang cukup basah mampu mendeskripsikan jika laki laki itu baru saja selesai keramas. Revan menggosok rambutnyaaa kasar, sebelum akhirnya memilih berdiri di depan cermin.

Sosoknya terdiam, netranya terlihat mengamati bekas luka di sudut bibirnya. Tidak parah, tidak juga ada bekas, tapi tidak bisa di pungkiri jika rasa sakitnya masih cukup terasa. Dan untungnya Revan tidak pernah mempunyai riwayat sakit gigi, karena jika iya— rasanya pasti akan jauh lebih sakit dari ini.

Revan terkekeh kecil sebelum akhirnya atensinya terpaksa teralihkan. Tepat setelah seseorang membuka pintu kamarnya—

"Darren?"

"Mau makan bareng?" Tanya Darren yang sukses membuat Revan mengernyitkan alisnya bingung. Apakah Darren tidak tau jika dirinya sedang menjalankan hukuman dari papanya?

"Tapi gue lagi di huk—"

"Di hukum?" Potong Darren cepat yang langsung di jawab anggukan tipis oleh Revan.

"Papa lagi keluar, jadi gue rasa— kalau gue ngajak lo makan, papa ga bakal tau"

"Tapi kan—"

"Udah ga usah banyak bacot, lo laper kan? Ayo makan" ujar Darren sebelum akhirnya menarik pelan tangan adiknya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang