36. Hal Sederhana

4.4K 561 36
                                    

Darren tau jika apa yang selama ini ia lakukan salah, Revan memang bukan adiknya— tapi tidak seharusnya ia bersikap seperti ini bukan? Revan sudah cukup menderita karenanya, dan sekarang? Darren justru menambah masalah untuk adiknya.

Darren merasa jika dirinya bukanlah kakak yang baik, Darren merasa jika setiap tindakannya hanya akan membuat Revan terluka. Ia sadar, baik perkataan ataupun tindakannya sering kali melukai perasaan Revan. Dan Darren mengakui kesalahannya.

Tapi kenapa? Kenapa dia harus sadar disaat semuanya tak lagi sama? Kenapa ia harus sadaar disaat Revan tak lagi menganggapnya? Ia tau, laki - laki tersebut mungkin lelah dengan semuanya. Menyerah mungkin satu - satunya jalan. Tapi kenapa rasanya Darren tidak rela?

Revan telah berubah, sosoknya mungkin sangat sulit untuk ia gapai lagi. Darren bahkan ragu jika dirinya akan mendapatkan kesempatan kedua. Tapi entah kenapa hatinya justru memintanya untuk berjuang sekali lagi.

Revan patas ia perjuangkan, laki - laki itu tidak salah. Kalaupun harus ada yang disalahkan itu mamanya, bukan Revan. Karena disini? Laki - laki tersebut hanya menjadi korban. Dan sayangnya, Darren terlalu lambat untuk menyadari semuanya. Karena kini, dirinya mungkin telah kehilangan sosok Revan.

"Papa bilang lo bukan saudara kandung gue, tapi kenapa gue ngerasa kalau apa yang papa bilang itu bohong?" Lirih Darren seraya mengamati kepergian Revan.

Ia tau, saat ini Revan mungkin tengah kecewa padanya. Apalagi setelah apa yang baru saja ia lakukan. Darren tau dirinya salah, tapi semua ia lakukan semata - mata karena ia takut kehilangan.

Kedekatan Revan dengan Vano sukses membuat Darren takut. Ia takut jika Revan akan melupakannya. Ia takut jika Vano akan merebut posisinya, dan ia takut jika Revan akan berpaling darinya.

Ia tau semuanya sudah terlambat, ia tau jika semuanya akan berakhir sia - sia. Tapi setidaknya untuk saat ini ijinkan Darren yang berjuang. Jika dulu Revan yang selalu berusaha mendekatinya, maka sekarang biarkanlah Darren yang berusaha. Ia akan berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan kembali hati Revan, bagaimanapun caranya.
Darren menghela nafas pelan sebelum akhirnya pergi dari sana. Membawa langkahnya menyusul kepergian Revan.

"Revann" Darren tampak berlari menghampiri Revan, mengabaikan jika saat ini sosok tersebut hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Apalagi sih, Darr?"

"Gue tau gue egois, tapi please maafin gue"

"Lo gak salah, jadi apa yang harus gue maafin?

"Tapi lo marah sama gue"

"Gak usah sok tau"

"Kalau lo gak marah, lo gak mungkin jauhin gue, Ree" lirih Darren seraya menundukkan kepalanya pelan. Tidak peduli jika harga dirinya mungkin jatuh saat itu juga, karena yang terpenting baginya sekarang hanyalah maaf dari Revan.

Revan menatap malas kearah Darren sebelum akhirnya mengulum senyum tipisnya. Tangannya bahkan terangkat untuk menarik Darren kedalam pelukannya. Revan mungkin kecewa, tapi dirinya bahkan tidak bisa marah terlalu lama pada kakaknya.

"Stop kaya gini, Darr. Harga diri lo bisa turun" ujar Revan di sela - sela pelukan mereka. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya terkekeh pelan karenanya.

"Gue gak peduli, yang penting lo udah gak marah lagi sama gue" balas Darren seraya mengusak pelan rambut Revan.

Keduanya tampak hanyut dalam kebahagiaan masing - masing. Sedangkan tidak jauh dari posisinya, sosok Vano hanya bisa mengulum senyum tipisnya. Tidak bisa di pungkiri jika dirinya turut bahagia melihat kedekatan keduanya.

"Akhirnya usaha lo gak sia - sia, Ree. Gue seneng kalau apa yang selama ini lo perjuangin membuahkan hasil" lirih Vano seraya mengamati keduanya dari jauh. Senyum tipisnya terbit seiring dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah. Vano benar - benar bahagia sekarang.

***

"Gue kan udah mau maafin lo, jadi sekarang lo harus ngikutin semua kata - kata gue" ujar Revan seraya menaik - turunkan alisnya.

"Perasaan gue tiba - tiba gak enak"

Revan terkekeh pelan, tangannya bahkan terangkat untuk menoyor pelan kepala kakaknya. "Gue cuma minta lo bilang kalau lo sayang sama gue"

"Hahh?" Darren terlihat kaget, sosoknya bahkan masih menatap tidak percaya kearah Revan.

"Lo serius?"

Revan menghela nafasnya pelan, terlihat jelas jika sosoknya kecewa. Karena tidak mungkin jika Darren akan mengikuti permintaannya.

"Lo malu ya? Yaudah gapapa, gu—"

"Gue sayang sama lo, Ree" potong Darren yang sukse membuat Revan menghentikan ucapannya.

"A-apa?"

"Gue sayang sama lo, Ree"

"Sekali lagi, Darr. Sekali lagii"

"Gue sayang sama lo, Revann" Teriak Darren lengkap dengan senyuman hangatnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan tengah menahan tangisnya. Bolehkah Revan mengatakan jika saat ini dirinya benar - benar bahagia?

"Darr, lo gak bohong kan?"

"Gue sayang sama lo, Ree"

"Gue sayang sama lo"

"Makasi Darr, makasii banget" lirih Revan seraya menarik Darren kedalam pelukannya.

"Lo tau ga? Sekarang gue ngerasa bahagiaaa banget. Bahkan gue ngerasa kalau gue adalah satu - satunya orang yang paling bahagia di dunia ini" lanjut Revan lengkap dengan senyumannya.

"Dan yang kedua ada gue, gue ikut bahagia kalau liat lo bahagia" lirih Darren seraya mengusap pelan rambut Revan.

"Maafin gue ya? Kalau selama ini gue cuma bisa buat lo menderita" lanjut Darren yang langsung di jawab gelengan cepat oleh Revan.

"Gue udah lupain semuanya, dan lo? Lo ga perlu minta maaf lagi, Darr"

"Gue sayang lo, Ree"

Revan tersenyum tipis, ia bahkan tidak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya saat ini. Cukup sederhana memang, tapi Revan akui jika dirinya benar - benar bahagia.

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now