25. Revan Aldebaran

5.4K 642 21
                                    

Darren terpaku, tepat setelah netranya melihat Revan yang tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang, Darren langsung membawa langkahnya mendekat, dan merengkuh tubuh Revan saat itu juga.

Hangat, setidaknya hal tersebutlah yang ia rasakan ketika tubuhnya bersentuhan langsung dengan Revan. "Ree, bangunn. Jangan buat gue makin khawatir"

"Revann" Darren nampak kebingungan, tangannya bahkan terangkat untuk mengusap pelan rambut adiknya.

"Ree, lo denger gue kan?"

Merasa tak mendapat jawaban, Darren langsung membawa Revan keluar dari gudang. Sedari tadi hujan juga tak kunjung reda, jadi mau tak mau Darren terpaksa menerobos air hujan dengan Revan yang berada dalam gendongannya.

Darren tidak peduli jika dirinya akan basah kuyub dan berujung sakit nantinya, karena yang terpenting baginya hanyalah keadaan Revan. Darren tidak tau, entah apa yang baru saja Wira lakukan pada Revan. Yang ia tau, Revan benar - benar butuh pertolongan sekarang.

Darren membawa Revan menuju kamarnya, merebahkan tubuh Revan dengan perlahan sebelum akhirnya memilih mengganti pakaian adiknya. Ia takut jika berlama - lama menggunakan baju basah, demamnya tak kunjung mereda. Tapi tunggu, Darren merasa jika ada yang aneh pada tubuh Revan. Luka cambukan?

Darren mengepalkan kedua tangannya kuat - kuat, tidak habis pikir dengan pikiran ayahnya. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal sejahat ini pada Revan? Sosok yang notabene-nya adalah anaknya sendiri.

"Revan, lo bangun?" Tanya Darren tepat setelah melihat adanya sedikit pergerakan di tangan adiknya.

"Darr-en"

"Gue disini Ree"

"Gue ta-kut"

"Gak usah takut, gue gak bakal ninggalin lo lagi" ujar Darren seraya menghapus keringat yang kini mulai membasahi kening adiknya.

"Lo demam Ree, tunggu bentar ya? Gue mau ngambil kompresan dulu" ujar Darren seraya beranjak dari duduknya, namun baru beberapa langkah ia pergi— Revan kembali menghentikannya.

"Jangan tinggalin gue"

"Gue gak akan ninggalin lo, Ree" ujar Darren meyakinkan, sedangkan Revan hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Gue harus kedapur, badan lo panas banget. Harus di kompres, kalau engga demamnya gak bakal turun" Darren berusaha memberi pengertian, tapi bukannya menurut Revan justru kembali menggeleng sebagai jawaban. Sosoknya bahkan sengaja menarik Darren agar ikut tidur disisinya. Karena yang sekarang Revan butuhkan hanya Darren, bukan makanan atau obat sekalipun.

"Jangan pergi"

Darren menghela nafas pelan sebelum akhirnya mengangguk sebagai jawaban. Tangannya terangkat untuk mengusap pelan surai adiknya, berharap dengan cara tersebut dirinya bisa memberikan sedikit kenyamanan untuk Revan.

"Istirahat ya?" Ujar Darren lembut seraya mengamati bagaimana puncatnya wajah Revan saat ini.

"Maafin gue, Ree" lirih Darren pelan sebelum akhirnya ikut terlelap saat itu juga.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi, sedangkan sosok Darren baru saja terbangun dari tidurnya. Ia sempat mengerjap beberapa kali lalu mulai meregangkan otot - otot di tubuhnya.

Darren mengernyit bingung, tepat setelah dirinya tidak menemukan keberadaan Revan disisinya. Darren panik? Tentu saja. Apalagi mengingat jika keadaan Revan masih jauh dari kata baik.

"Revan" panggilnya seraya beranjak dari tidurnya, ia hanya takut jika Revan kembali di bawa pergi oleh ayahnya.

"Reee"

"Revannnn"

"Gue disini" ujar Revan seraya membawa langkahnya keluar dari kamar mandi, sosoknya bahkan sudah terlihat rapi lengkap dengan seragam sekolah miliknya.

"Gue pinjem baju lo ya? Gue males ke kamar. Tar lo pake punya gue" lanjut Revan dengan cengiran khasnya, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa menatapnya dalam diam.

Bagaimana mungkin Revan bersikap seolah - olah semuanya baik - baik saja? Bagaimana mungkin laki - laki tersebut bertindak seolah - olah tidak ada sesuatu yang terjadi?

"Lo ngapain?"

Revan mengernyit bingung, masih belum mengerti dengan apa yang baru saja Darren tanyakan. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut terlihat menghela nafas pelan sebelum akhirnya berjalan mendekat kearah Revan.

"Gue tanya lo ngapain?" Darren mengulangi pertanyaannya, tangannya bahkan terangkat untuk menyentuh kening adiknya.

"Ngapain mandi jam segini? Badan lo masih panas, terus muka lo juga masih pucet"

"Lo mau sekolah!" Lanjut Darren lagi yang sukses membuat Revan menunjukkan cengiran khasnya.

"Lo gak ada niat buat ngelarang gue kan?"

"Jangan buat gue khawatir cuma karena lo keras kepala kaya gini, Ree"

"Tapi gue beneran udah gapapa, Darr"

"Istirahat dirumah, jangan ngebantah"

"Darr, ayolahh. Ini gue serius, gue udah gapapa. Kalaupun lo nyuruh gue buat baku hantam sama Vito, gue masih yakin kalau gue bakal menang" ceroscos  Revan panjang lebar yang sukses membuat Darren menghela nafas pelan.

"Nggak"

"Janji deh gak bakal nyusahin lo nanti, tapi ijinin gue sekolah ya? Ya ya ya?" Revan masih kekeuh ingin berangkat sekolah.

"Lo mah tiap hari selalu nyusahin gue" ujar Darren yang sukses membuat Revan mempoutkan bibirnya kesal.

"Lo mah gak asikk ihhhh"

"Gak usah keras kepala, bisa?"

Revan menghentakkan kakinya kesal, sedangkan Darren hanya bisa menggeleng heran melihatnya. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya.

"Lo bilang lo gak bakal ninggalin gue, tapi sekarang? Lo malah ninggalin gue sendirian di rumah. Kalau papa dateng terus marahin gue lagi gimana?" Revan mulai melancarkan aksinya, karena percaya atau tidak dirinya tidak akan menyerah segampang itu.

"Oke, lo gue ijinin"

"Yesss"

Bukan Revan namanya jika tidak pandai merayu. Ya meskipun kondisinya masih jauh dari kata baik, setidaknya untuk saat ini dirinya tidak ingin terlihat lemah. Terutama di depan Darren, kakaknya.

Bukankah dirinya adalah Revan Aldebaran, laki laki dengan sejuta topeng handalannya.

—Revan—

R E V A NWhere stories live. Discover now