64. Cemburu

3.7K 435 5
                                    

Revan merentangkan kedua tangannya, berusaha menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Rasanya benar - benar nyaman, dan Revan sangat menyukainya.

Revan tersenyum, netranya terlihat mengamati gedung - gedung tinggi di depannya. Kerlap - kerlip lampu pada malam hari sudah cukup memberikan eksistensi tersendiri. Sangat indah, belum lagi angkasa diatas sana terlihat cukup mendukung. Bintang serta bulan bahkan ikut menyaksikan bagaimana bahagianya ia sekarang.

Setidaknya setelah sekian lama, kali ini mungkin adalah kali pertama ia merasa jika bebannya jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Semua luka dan penderitaan seakan - akan hilang begitu saja. Rasanya sangat ringan dan nyaman. Revan tersenyum, ia pun menyukainya.

"Udah malem, ngapain diem di luar?" Tanya Darren yang saat ini sudah berdiri disamping Revan. Kedua tangannya ia masukkan kedalam jaket seiring dengan netranya yang masih setia menatap kearah Revan.

"Lo lihat deh, Darr. Bagus banget gak sih?" Tanya Revan seraya menunjuk angkasa diatas sana menggunakan jari telunjukknya.

"Gitu - gitu bagusan juga mukak gue"

"Najis, Darr"

Darren terkekeh sebelum akhirnya memilih merangkul tubuh Revan. Sosoknya bahkan tak segan untuk menunjukkan senyuman yang selama ini sangat jarang ia tunjukkan. Bukankah selama ini Darren terkenal dengan sikap dingin dan gengsinya? Tapi sekarang? Setidaknya untuk Revan, Darren rela merubah kepribadiannya. Ia hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan hangat untuk adiknya.

"Udara malem gak baik buat kesehatan lo, masuk yuk?" Ajak Darren yang sukses membuat Revan menghela nafasnya pelan. Karena jujur, ia bahkan belum puas menikmati suasana malam melalui balkon kamarnya.

"Gue masih pengen disini"

"Gue tau, tapi sekarang kesehatan lo jauh lebih penting Ree"

"Gue baik - baik aja, Darr. Lagian kalau sakit lagi cuma tinggal minum obat aja kan?"

Darren memejam, ia bahkan baru mengetahui jika Revan adalah sosok yang sangat keras kepala. "Ngomong - ngomong soal obat, lo udah minum?"

Revan cengengesan, tangannya bahkan terangkat untuk menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah menatapnya lengkap dengan kernyitan di alisnya.

"Udah minum obat?" Tanya Darren sekali lagi, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa menunjukkan cengiran khasnya sebelum akhirnya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Belumm"

Darren menghela nafas pelan, dari gelagatnya saja ia sudah bisa menduga jika Revan belum meminum obatnya.

"Paitt, Darr. Lo kan tau kalau gue paling gak suka minum obat"

"Lebih pilih mana? Sakit apa minum obat?" Tanya Darren seraya bersedekap dada. Mengabaikan jika saat ini Revan hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Masuk, minum obat habis itu langsung istirahat!"

"Ya tap—"

"Gak usah ngelawan. Masukkk!"

"Tap—"

"Jangan mancing kesabaran gue, Ree" Darren memperingati, sedangkan Revan? Sosok tersebut hanya bisa menghela nafasnya pelan. Mau tak mau ia terpaksa mengikuti kemauan kakaknya.

Revan memasuki kamar terlebih dahulu, meninggalkan Darren yang saat ini terlihat sedang menutup jendela yang merupakan penghubung antara balkon dengan kamar Revan.

"Lo duduk dulu, biar gue ambilin air putih" ujar Darren yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Revan.

Darren mengehela nafas pelan sebelum akhirnya membawa langkahnya menuju dapur. Meninggalkan Revan yang saat ini hanya bisa menatap nanar kearah butiran - butiran obat di tangannya.

Revan terkekeh, "Gue bahkan gatau bisa bertahan atau engga kalau gak minum obat sehari"

"Mau sampai kapan lo bergantung sama obat - obatan kaya gini, Ree? Lemah banget sih lo" lanjutnya lengkap dengan nada lirihnya.

Semua orang mengatakan jika dirinya akan sembuh. Tapi entah kenapa, Revan justru meragukan semuanya. Ia bahkan tidak tau sampai kapan ia akan bertahan.

"Mikirin apa lo?" Tanya Darren yang sukses membuat Revan seketika mengalihkan atensinya.

"Gak mikirin apa - apa"

Darren mengangguk sebelum akhirnya mengulurkan air putih di tangannya kearah Revan. "Jangan mikirin yang aneh - aneh dulu, gue gak mau lo jatuh sakit lagi"

Revan tersenyum seraya menatap sendu kearah Darren. "Gue pasti sembuh kan, Darr"

"Lo pasti sembuh"

Revan mengangguk pelan sebagai jawaban, sedangkan Darren? Laki - laki tersebut terlihat menuntun Revan untuk tidur. Sosoknya bahkan begitu telaten memakaikan selimut pada adiknya. Darren tersenyum sebelum akhirnya mengusap lembut rambut Revan.

"Tidur yang nyenyak ya?"

"Papa belum pulang?"

"Kenapa? Kayaknya bentar lagi papa pulang deh"

"Gapapa, cuma kangen aja" balas Revan yang sukses membuat Darren terkekeh pelan.

"Kangennya di pending dulu, mending sekarang lo istirahat. Besok udah mulai sekolah kan?"

Revan mengangguk antusias, "Gue gasabar buat sekolah lagi"

"Terusss?"

"Gue gasabar ketemu Raska di sekolah. Dia udah pindah kan?" Tanya Revan yang langsung dijawab anggukan oleh Darren.

"Awas aja lo ngelupain gue gara - gara disekolah ada Raska"

"Lo cemburu?"

"Hah? Apa? Ga denger"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang