45. Kerinduan Darren

4.3K 573 14
                                    

Setiap manusia itu punya sisi  malaikat sama sisi iblisnya. Jadi sebaik - baiknya manusia,  dia pasti punya sisi jahatnya.  Dan sejahat - jahatnya manusia, dia pasti punya sisi baiknya.

-Revan Aldebaran.

***

"Gue udah putusin kalau gue bakal pindah ke sekolah lo!" Ujar Raska yang sukses membuat Revan mengernyitkan alisnya bingung. Laki - laki tersebut bahkan mengalihkan atensinya kearah Raska. Sedangkan Raska? Sosok tersebut hanya bisa tertawa pelan sebelum akhirnya berjalan mendekat kearah Revan.

"Bantuin gue beradaptasi ya" ujar Raska lengkap dengan senyum tipisnya. Revan mengangguk sebelum akhirnya merangkul sosok tersebut.

"Lo tenang aja, gue pastiin kalau lo bakal nyaman sekolah disana"

"Gue pegang kata - kata lo" ujar Raska yang sukses mengundang tawa keduanya.

"Udah jam tiga, gue berangkat dulu ya" ujar Revan seraya beranjak dari duduknya. Sedangkan Raska? Laki - laki tersebut hanya bisa menunjukkan ekspresi bingungnya.

"Lo mau kemana jam segini?"

"Kalau lo lupa, gue harus bantuin bokap lo jaga toko" Revan menjelaskan.

"Gue ikut ya?"

"Lo serius?"

"Lo ngeraguin gue?"

"Ya enggak sih, tap—"

"Gak usah banyak bacot. Pokoknya gue ikut. Titik gak pake koma"

Revan menggeleng heran sebelum akhirnya memilih untuk menghela nafas pelannya. Percuma juga ia melarang, karena pada dasarnya Raska adalah sosok yang keras kepala. "Yaudah buruan siap - siap lo. Gue gak mau ya kalau harus telat di hari pertama gue kerja"

"Siap laksanakan bosku" ujar Raska seraya mengancungkan tangannya ke udara.

Setidaknya butuh waktu sekitar sepuluh menit lama ta bagi Raska untuk bersiap - siap, karena saat ini sosok tersebut sudah terlihat rapi lengkap dengan celana jeans dan baju kaos kesayangannya.

"I am ready" teriak Raska seraya berlari menuruni anak tangga. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

Entah kenapa kehadiran Raska sukses memberikan warna dalam hidupnya. Ia merasa jika semuanya akan baik - baik saja jika Raska berada disisinya. Revan tersenyum tipis, rasanya ia ingin egois. Revan bahkan tidak ingin kehilangan Raska. Karena percaya atau tidak, saat ini Revan benar - benar menyayangi sosok tersebut.

"Buruan elah, bokap lo pasti udah nungguin kita"

"Kita berangkatnya pake mobil ya?" Ujar Raska yang sukses membuat Revan kehilangan kata - katanya. Karena percaya atau tidak, dirinya bahkan masih trauma menaiki mobil.

"Kita naik motor aja gimana?" Tanya Revan sedikit ragu, sedangkan Raska? Sosok tersebut terlihat mengernyitkan alisnya bingung.

"Kenapa?"

"Gapapa sih, gue cuma masih takut aja naik mobil—" Revan sengaja menggantung kalimatnya, mengabaikan jika saat ini sosok Raska hanya bisa tersenyum tipis menanggapinya.

"Tapi kalau lo mau naik mobil gapapa kok, gue bisa naik ojek nanti" lanjut Revan dengan cepat, dirinya hanya merasa tidak enak dengan Raska.

"Gue gak bakal maksa lo buat ikut naik mobil bareng gue, tapi gue juga gak bakal biarin lo buat berangkan sendirian, Ree. Kita naik motor aja gimana?" Tanya Raska seraya menaik turunkan alisnya. Revan tersenyum tipis sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Seenggaknya itu jauh lebih baik daripada gue harus naik mobil" balas Revan lengkap dengan cengiran khasnya. Merasa gemas, Raska bahkan mengangkat tangannya untuk mengusak pelan rambut Revan.

Raska berjanji, jika dirinya akan menjaga Revan seperti adiknya sendiri. Raska berjanji jika dirinya tidak akan melepas Revan begitu saja. Dan Raska juga berjanji akan melakukan apa saja asalkan Revan bahagia. Karena yang terpenting baginya sekarang hanyalah kebahagian Revan.

Sosok tersebut sudah menderita terlalu lama. Jadi tidak ada salahnya bukan jika saat ini ia menginginkan Revan bahagia? Ia hanya tidak ingin jika Revan terlalu lama larut dalam kesedihannya. Bahkan jika melupakan masalalunya adalah satu - satunya jalan, dengan siaga Raska akan membantu sosok tersebut untuk melupakan segalanya.

"Jangan ngebut - ngebut lo naik motornya. Gini - gini gue gak punya nyawa cadangan" celetuk Revan yang sukses membuat Raska terkekeh pelan.

"Pegangan" ujar Raska sebelum akhirnya melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Sedangkan di belakang, sosok Revan hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

Sedangkan disisi lain, kini sosok Darern terlihat sedang berada di taman rumah sakit. Darren menatap kosong kearah anak - anak yang sedang bermain disana, dan entah kenapa dirinya jadi merindukan sosok Revan.

Darren sudah berusaha menghubungi Revan berulang kali, tapi alih - alih mendapatkan hasil. Ponsel Revan bahkan tidak bisa di hubungi sama sekali. "Ree, sebenernya lo dimana?"

"Apa lo baik - baik aja disana?"

"Gue yakin kalau papa pasti udah ngomong sesuatu sama lo. Karena gak mungkin banget lo pergi disaat kita baru aja baikan"

"Gue kangen lo, Ree" lirih Darren seraya menitikkan air matanya. Entah kenapa akhir - akhir ini dirinya seringkali mengkhawatirkan sosok Revan. Darren baru menyadari jika Revan sangat berpengaruh penting dalam hidupnya. Darren bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya ia tanpa Revan.

Darren mungkin terlambat menyadarinya, tapi dirinya juga sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik. Darren masih berusaha untuk menebus semua kesalahannya pada Revan. Tapi sayang, karena semuanya tidak semudah yang ia kira. Darren bahkan tidak mengetahui dimana Revan sekarang.

"Apa lo marah sama gue, Ree?"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang