10. Apa semuanya baik-baik saja?

5.2K 1.2K 383
                                    

Al masuk BK.

Bersama dengan empat siswa lainnya.

Kabar itu sungguh sangat mengejutkan semua orang. Di luar ruang BK, El, Alex, Samuel, dan Alan menunggu Al yang ada di dalam sana. Karena mereka bukan saksi, mereka tidak dibolehkan masuk, jadi hanya bisa menunggu di luar dan mencuri dengar pak Amin yang sedang marah-marah. El menyambut kedatangan ayahnya yang sudah memijakan kaki di koridor menuju ruang konseling. Tidak ada kemarahan di raut wajah sang ayah, tapi tetap saja El merasa khawatir.

"Tadi El di lapangan. Gak tau kalau Al berantem."

Hasan menepuk bahu putranya, lalu tersenyum. "Gak papa. Ayah gak marah," ujarnya, lalu pamit pada El untuk masuk ke dalam.

Alex yang melihat reaksi ayah si kembar kini tersenyum sendu. Ayah teman-temannya terlihat sangat baik kepada anak-anak mereka. Tapi, kenapa ayahnya berbeda? Bahkan sudah Alex bayangkan jika dirinya yang masuk BK karena alasan perkelahian. Ia yakin luka perkelahian tidak akan ada apa-apanya dibanding dengan luka yang akan ia dapati di rumah.

Setelah Hasan mengetuk pintu, suara seseorang dari dalam menyuruh Hasan masuk.

"Orang tua Al, yah?" tanya seorang pria yang berjalan mendekati Hasan. Sambil berjabat tangan, Hasan membenarkan pertanyaan tersebut.

"Silakan duduk."

Dengan kerutan samar di kening Hasan, pria itu berjalan menuju sofa. Putranya yang tadi duduk pada salah satu sofa itu sudah berdiri sejak ia masuk. Hasan mendekatinya lebih dulu, setelah tiba di depannya, barulah Al bicara bahkan tanpa menunggu sang ayah bertanya.

"Pilihanku cuma dua. Direndahin mereka atau membela diri."

Hasan terkesiap. Situasi ini mengingatkannya pada masa kecil Al dan El. Waktu itu Al berkelahi dengan Andy untuk melindungi El. Lututnya berdarah, tapi wajahnya tak nampak kesakitan atau merasa bersalah. Namun kali ini, meski tidak ada luka yang Hasan lihat, ekspresi Al menunjukkan kalau dia merasa bersalah.

Tapi, apa alasannya merasa bersalah? Apa karena berkelahi? Atau karena takut mengecewakan orang tuanya?

"Kamu gak papa?" tanya Hasan setelah melirik empat siswa yang berdiri di depan meja yang ada di ruangan itu.

Jadi, ini maksudnya Al berkelahi dengan mereka? Tapi, dari apa yang Hasan lihat, empat orang itu lebih memiliki banyak luka. Sementara anaknya masih mulus tanpa sedikitpun goresan. Dan lagi, kenapa Al dibolehkan duduk di sofa sementara empat siswa itu disuruh berdiri sambil diomeli gurunya?

Hasan jadi bingung.

"Aku gak papa."

Hasan duduk pada sofa, tepatnya di sebelah Al. Sementara guru yang sempat mengomeli empat siswa itu duduk pada single sofa yang ada si sisi kanan.

"Bapak cepat sekali sampai di sini."

"Oh iya, tadi kebetulan saya lagi di jalan dekat sini."

Guru laki-laki yang namanya tertera pada mejanya itu mengangguk mengerti. Pak Amin nama yang Hasan lihat di sana.

"Kita tunggu orang tua mereka dulu ya, Pak."

Hasan mengiyakan, lalu menoleh, melihat putranya yang duduk di sebelahnya, kemudian melihat empat siswa yang masih berdiri di sana. Sungguh ini sangat mengganjal di pikiran Hasan. Kenapa putranya seperti diperlakukan sangat istimewa?

"Saya boleh tanya," ucap Hasan.

"Silakan, Pak."

"Anak saya kenapa duduk? Tapi mereka suruh berdiri?"

Pak Amin menoleh ke arah empat siswa yang berdiri itu, lalu kembali menatap Hasan.

"Karena mereka biang keladinya," kata Pak Amin.

Different (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now