22. Baby sitter

4.9K 1.1K 385
                                    

Seperti yang Al bilang, malam ini dia pulang. Pukul sebelas. Sengaja selarut ini karena tidak ingin bertemu bundanya. Kalau ayahnya... Sudah langsung Al temui di ruang tamu.

Al sampai terkejut melihat pria berpostur tinggi itu berdiri di belakang kepala sofa, tepat menghadap pintu masuk. Sepertinya sudah berjam-jam ayahnya ada di sana.

Sekarang Al hanya bisa berdiri di tempat. Lampu utama yang sudah dimatikan menjadi penolongnya karena wajahnya jadi tidak bisa terlihat jelas. Dia bingung harus mulai bicara dari mana. Sementara ayahnya sudah mulai berjalan mendekat. Berdiri di hadapannya dengan kedua tangan berada dalam saku celana.

Sekarang Al hanya bisa menunggu apa yang akan ayahnya ucapkan.

"Kamu udah gak butuh ayah?"

Deg

Jantung Al rasanya seperti diremas. Matanya langsung memanas dan perih. Ia tahu ayahnya pasti akan marah karena kemarin ia tidak pulang sama sekali dan hanya mengabari lewat pesan kalau dirinya tidur di apartemen. Dan lagi, hari ini dia tidak sekolah, sedangkan yang memberi kabar itu malah wali kelasnya. Al memang salah. Seharusnya atau setidaknya, dia mengabari orang tuanya dulu perihal absennya hari ini. Mungkin karena itu ayahnya jadi merasa tidak dianggap oleh putranya sendiri.

Tapi tetap saja, Al tidak menyangka kalau ayahnya akan bertanya seperti itu.

"Maaf."

"Masuk ke kamar. Kita bicarain besok lagi."

Al mengangguk, namun saat hendak pergi, sebuah tangan menyentuh keningnya. Ia tertegun sejenak, menatap manik hitam itu kini menyiratkan kekhawatiran.

"Al gak papa."

Hasan menarik tangannya kembali. "Alfathan Athaar Wistara," panggilnya, tegas di setiap kata.

Ketika mendengar namanya disebut secara lengkap dan jelas, Al tahu kalau pembicaraan ini tidak bisa ditunda sampai besok.

"Ayah tahu kamu udah besar, udah dewasa, dan kakak tertua. Tapi..." Hasan memegang setiap sisi pundak putranya dan menekannya erat, "Kamu tetep seorang anak buat ayah sama bunda."

Al mengangguk sambil menyeka matanya dengan punggung tangan. Rasanya sudah hampir berair.

"Ayah sama bunda boleh khawatir, boleh tau kamu kenapa, boleh tau kamu pergi kemana, boleh tau kamu ketemu sama siapa, main sama siapa, bahkan berantem sama siapa dan kalah atau menang pun, ayah sama bunda boleh tau."

"Aku takut ayah kecewa."

"Ayah lebih kecewa kalau kamu malah menjauhi keluarga saat sebenarnya kamu butuh kita. Peran keluarga itu saling merangkul dalam situasi apapun. Jangan jadiin ayah cuma pajangan di sini."

"Ayah, aku gak bermaksud kaya gitu."

"Iya, ayah tau."

Hasan menghela napas, kemudian memeluk putranya yang bisa ia rasakan demamnya sangat tinggi. Tubuhnya sangat panas.

"Kamu udah minum obat?"

"Udah."

"Yaudah sekarang istirahat. Nanti pagi ayah panggil dokter ke rumah."

Al hanya bisa mengangguk, membalas pelukan ayahnya lebih erat sebelum mengurainya.

"Soal bunda nanti ayah yang urus. Kamu gak perlu khawatir."

Ucapan itu menjadi penutup obrolan di antara mereka. Al pergi ke kamarnya. Tapi sebelum itu, ia lebih dulu mampir ke kamar El, melihat adiknya yang biasa tidur menjelajahi ranjang sampai bantal dan selimutnya tidak karuan kini tidur lebih kalem. Satu tangannya di atas perut sementara kakinya masuk ke dalam selimut. Seumur-umur, Al baru lihat El tidur seanggun itu. Ternyata ada hikmah dibalik kakinya yang sakit.

Different (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now