16. Merasa aman

3.8K 1.1K 343
                                    

"Gak papa, kamu jangan nangis lagi. El bilang ini bukan salah kamu, kan."

"Iya, Om. Makasih yah, Om."

"Kalau begitu kami permisi. Terima kasih, Pak Hasan. assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Syila menyenggol lengan Al yang saat ini sedang berjalan bersamanya hendak menuju ruang rawat inap El. "Siapa itu, Bang? El punya temen cewek?" tanyanya.

Namun Al diam. Lelaki itu terlalu fokus sampai tidak bisa merespons pertanyaan bundanya. Gadis itu... Dia datang bersama ibunya. Apa tujuannya?

Saat mereka berpapasan, dia tidak menoleh sama sekali. Bahkan dia malah menyembunyikan wajahnya dan memeluk pinggang wanita yang datang bersamanya itu. Seakan dia takut pada sesuatu. Ah, atau lebih jelasnya, Gladys takut padanya.

"Mas, siapa itu?" tanya Syila pada sang suami karena putranya tak menjawabnya tadi.

"Temennya El dateng jenguk sama ibunya."

"Kok nangis?"

"Iya, katanya dia ngerasa kalau dia yang bikin El masuk rumah sakit. Jadi-"

"HAH. Jadi El kaya gini gara-gara rebutan perempuan?!"

"Enggak gituu. Dengerin dulu Mas ngomong."

Sementara kedua orang tuanya masih berbincang di koridor, Al membuka pintu dan masuk. Dia berjalan menuju sofa, meletakkan paper bag berisi pakaian bersih untuk El yang dibawa dari rumah.

"Lo, kan?"

Al menoleh.

"Lo datengin Gladys, kan?!"

"Lo punya bukti?"

El membuang muka dari Al. Cukup untuk menjawab kalau dia tidak punya bukti atas tuduhannya itu. Dan itu artinya, Gladys pun tak bicara kalau kemarin Al mendatanginya.

"Entah apapun yang lo pikirin, Gladys gak salah. Mungkin dia memang penyebab awal Gino gak suka sama gue. Tapi terlepas dari itu, kejadian ini gak ada hubungannya sama Gladys."

"Dari mana lo tau?"

"Jelas Gino ngelakuin ini karena dia takut kalah di pertandingan itu."

Al mendekat, berdiri tepat di samping brankar itu lalu menyilangkan tangannya di bawah dada. "Oke, katakanlah begitu untuk kasus kaki lo. Sekarang bisa lo jelasin apa alasan Gino untuk muka lo?"

El terdiam, terlihat kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. "Darimana lo tau kalau ini juga Gino pelakunya?"

"Lo yang barusan bilang sendiri. Gue cuma nebak, dan kalo itu bukan Gino, lo gak mungkin kasih pertanyaan barusan ke gue."

El mengambil bantal di bawah kepalanya, sambil memekik kesal, dia melemparkan bantal itu pada Al.

"Aargghh, kampret lo."

Al menangkap lemparan bantal itu sambil tertawa. Memancing El sebenarnya tidak begitu sulit kalau saja lelaki itu mau bicara. Padahal kemarin mereka bertengkar, tapi hari ini seakan tidak terjadi apa-apa. Yaaa namanya saudara, bukankah hampir semuanya seperti itu?!

***

Tuk tuk tuk

Jemari lentik gadis itu mengetuk-ngetuk meja. Sementara satu tangannya yang lain menopang dagunya. Tatapnya kosong ke depan, membuat pegawainya merasa kasihan karena sejak kemarin gadis itu terlihat sangat menyedihkan. Bahkan, saat teman-temannya datang pun dia mengabaikan mereka. Jadi dua orang yang selalu berisik itu malas menemaninya dan entah menghilang kemana. Padahal sebagai teman, mereka sangat dibutuhkan di saat-saat seperti ini.

Different (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang