26. Badai

3.6K 1.1K 358
                                    

"WHAT? Bokapnya Al dateng ke sini?"

An mengangguk, lalu bersandar pada kepala sofa dengan kepala mendongak ke arah langit-langit.

"Terus-terus, dia ngomong apa?"

Menghela napas panjang, ingatannya kembali pada kejadian semalam.

Hampir pukul sepuluh, bel apartemen berbunyi. Saat itu An belum tidur dan sedang menonton televisi. Jadi dengan rasa penasaran dan ingin tahu, akhirnya ia berjalan ke arah pintu dan mendapati seorang pria yang terlihat di layar monitor sedang berdiri di luar. Tentu saja An tak mengenalnya. Namun, tidak sembarang orang bisa memasuki gedung ini kalau dia tidak mempunyai akses khusus. Maka pasti orang tersebut sudah punya izin masuk sehingga bisa melewati pihak keamanan yang ada di loby. Gedung apartemen Al memang sangat ketat peraturannya.

Pria itu menekan bel kembali. Apakah An harus membukanya? Daripada bertanya-tanya sendiri, lebih baik ia bertanya dengan jelas siapa orang di luar itu. Ditekannya tombol yang ada dekat di layar kecil pada dinding. Sehingga ia bisa bicara pada orang yang ada di luar.

"Maaf, bapak cari siapa, yah?"

Pria di luar itu terlihat terkejut. An tidak tahu kenapa. Jadi dia hanya bisa menunggu pria di luar itu berbicara. Sampai akhirnya, tiga kata yang terdengar membuatnya buru-buru membuka pintu dan meminta maaf padanya.

"Saya ayahnya Al."

Kembali ke keadaan saat ini. Lagi-lagi An menghela napas panjang lalu menoleh ke arah Gladys yang tak sabar mendengar ceritanya.

"Lo gak diusir dari sini, kan?"

"Enggak. Katanya ini apartemen Al, gak ada hubungannya sama sekali sama dia. Jadi terserah Al mau apain tempat ini."

"Terus tujuan ayahnya Al ke sini apa?"

"Dia tanya gue pacarnya Al atau bukan. Waktu tanya kaya gitu, auranya serem banget, gue berasa diintrogasi karena nyuri harta karun negara, rasanya kaya kalo gue salah jawab, besoknya gue bakal di eksekusi." An sampai merinding saat mengingatnya kembali. Ayahnya Al lebih seram daripada siluma-siluman di rumah pamannya. Tapi...

"Tapi, setelah gue ceritain yang sebenernya, sikapnya berubah. Dia jadi ngingetin gue ke ayah gue. Dia bolehin gue tinggal di sini. Terus, kalau butuh sesuatu gue bisa hubungin dia. Dia kasih kartu namanya ke gue. Sebelum pergi, dia minta gue jangan bilang Al kalau dia dateng ke sini. Jadi ini rahasia. Lo jangan sampe bilang Al!"

Gladys langsung memberi sikap hormat sambil memekik, "Siap." Entah siapa sebenarnya yang seorang atasan di antara mereka.

"Jadi kesimpulannya ayah Al orangnya baik atau enggak?"

"Menurut gue sih baik. Cuma kayaknya dia gak setuju kalau Al pacaran. Makanya pas tanya soal itu dia jadi serem banget. Tapi pas tau anaknya ternyata lagi nyoba bantu seseorang, dia jadi mau ikut ngebantu. Seperti katanya, buah jatuh gak jauh dari pohonnya."

Gladys mengangguk-ngangguk. "Ekhm, kalo gitu... Lo sebenernya suka gak sama Al?"

"Bodoh banget kalo gue gak suka sama dia setelah semua kebaikan yang dia kasih ke gue."

"Ish," Gladys berdesis kesal. Kenapa sih semua orang gak peka sama pertanyaannya. Maksudnya tuh bukan yang suka semacem ituuu. "Maksud gue, lo cinta gak sama Al?" tanyanya lebih jelas dan menggebu.

An sampai melotot kaget mendengarnya. "Ya enggak lah," jawabnya cepat. "Gue memang suka sama dia. Tapi bukan berarti gue jatuh cinta sama dia. Jatuh cinta gak sesederhana itu."

Ya, sepertinya Gladys tahu itu. Anastasya ini bukan jenis cewek menye-menye yang bakal jatuh cinta cuma karena dibaikin atau digombalin. Oke, ini kabar yang bagus. Karena Gladys merasa kalau Anastasya adalah saingan yang berat. Tunggu! Apa ini artinya ia akan memperjuangkan lelaki menyebalkan itu? Aaaa... Tidak mungkin.

Different (SEGERA TERBIT)Onde histórias criam vida. Descubra agora