11. Perfect brother

5K 1.2K 253
                                    

"Lo tau gak, orang yang keliatan paling ceria, biasanya jadi orang yang paling pandai menyimpan rasa sakitnya."

Lelaki itu menoleh, melihat lelaki lainnya yang memakai seragam basket sama seperti dirinya. Mereka sedang duduk pada deretan kursi paling depan di dalam gor basket itu. Pemain yang lain sudah banyak yang pulang. Hanya tersisa lima orang termasuk El dan Alan. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka memang menyewa gor yang buka 24 jam. Namun kali ini mereka tidak patungan, El yang mengurus pembayarannya. Lagipula, dia juga yang menyuruh mengumpulkan orang untuk bermain basket malam-malam begini.

El tidak bisa mengajak Alex, temannya yang satu itu pasti tidak akan dibolehkan ayahnya. Samuel juga tidak bisa ikut, pulang sekolah dia syuting, sudah pasti lelah. Untungnya Alan bisa dia ajak. Jadi di sinilah dia sekarang bersama dengan Alan.

"Hm, sering denger, sih," ujarnya, menimpali ucapan Alan.

"Miris, yah."

El hanya menghela napas, melirik tasnya ketika terdengar suara dari dalam sana. Entah sudah berapa kali ponselnya berdering, dia mengabaikannya meski tahu siapa yang menelfon.

"Lo mau ikut turnamen, gak?" tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.

"Boleh emang? Gue bukan pemain inti."

"Jadi cadangan, lah."

Alan mendengus. Tapi daripada gak sama sekali. "Boleh deh."

"Sekitar dua minggu lagi. Mungkin setelah acara pensi."

"Jadi karena ini lo malem-malem ngajak orang-orang random main basket? Buat persiapan?"

Sebenarnya bukan karena itu. Namun tak ingin menjelaskan, El hanya bergumam, "Hm."

Alan berdiri sambil mengambil tasnya, menyampirkannya di bahu kiri. "Balik yuk."

"Duluan aja."

"Mau ngapain lo di sini?"

"Gue masih cape."

Lelaki itu mencebik tak percaya. El sudah duduk lebih dari sepuluh menit, dan sedari tadi hanya memandangi lapangan sampai akhirnya Alan ikut bergabung duduk di sebelahnya.

"Hp lo bunyi tuh dari tadi. Telinga lo mode silent, ya?"

El menoleh, melihat ranselnya lagi. Kembali tak mau menjelaskan lebih banyak kepada Alan, dia lebih memilih mengambil ponselnya, melihat nama ayah tertera di layar.

"Assalamu'alaikum."

"El baru selesai."

"El gak pulang, kunci aja pintunya."

"Tidur di apartemen. Lebih deket dari sini."

"Iya. Wa'alaikumussalam."

"Waw, lo punya apartemen?"

Usai memutus sambungan telfonnya, El langsung mendongak, melihat Alan yang baru saja bertanya dengan nada super terkejut.

"Iya, dari opa," jawabnya, diakhiri dengan senyuman.

***

"Anjir, keren banget apartemen lo!"

"Fyi, di telinga gue ada peringatan gak boleh berkata kasar!"

"Eh, sorry, gue gak baca."

Alan menyengir. Lelaki itu memang ikut El ke apartemennya. Mumpung besok libur, jadi dia bisa ikut tidur di apartemen El.

"Gue mau mandi. Lo kalau mau mandi, itu kamar mandinya," tunjuk El pada pintu di sudut kanan.

"Oghey. Tapi masalahnya gue gak bawa baju."

Different (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang