15. Kecacatan tak kasat mata

3.8K 1.2K 326
                                    

Sehari terlewati. Sejak dibawa ke rumah sakit sampai hari ini, El sulit sekali diajak bicara. Entah dengan orang tuanya atau Al, dia selalu mengelak jika mereka membahas topik soal kemarin.

Hasil CT scan menunjukkan kalau cedera kaki yang dialami oleh El tidak begitu serius namun cukup mengkhawatirkan. Ada bagian yang bergeser saat ia terjatuh, dan juga mengalami pembengkakan sehingga harus menggunakan kursi roda selama beberapa hari. Kemungkinan harus dibantu dengan tongkat selama beberapa minggu. Untungnya kepalanya yang terbentur lantai cukup keras tidak sampai mengalami luka dalam.

Kabar buruknya selama sekitar dua bulan El tidak boleh bermain di lapangan sampai kondisinya benar-benar membaik supaya tidak memperparah keadaannya. Padahal timnya masuk semi final dan akan main dua minggu lagi.

Al sudah mendengar bagaimana El bisa terjatuh. Saat itu Al tidak begitu fokus pada permainan karena diganggu oleh Gino, Al jadi lengah. Ayahnya bilang, saat El berlari hendak membawa bola menuju ring salah satu anggota dari tim lain menyandung kakinya, El terjatuh keras, lalu entah sengaja atau tidak, kaki El terinjak olehnya.

Soal luka di wajah El, Hasan menanyakannya pada Al. Namun jelas Al tidak bisa menjawab hanya berdasarkan spekulasi saja. Tapi sayangnya El pun masih belum mau bercerita. Jadi sudah pasti ada yang El sembunyikan.

"El, mau sampe kapan lo diem?"

"Meski gue ngomong pun gak akan ngubah apapun."

"Seenggaknya mereka bisa dateng ke sini dan minta maaf atas apa yang mereka buat."

"Gue gak mau besar-besarin masalah."

"Ini bukan masalah kecil!"

"AL, JUST STOP, OK! I'M NOT YOUR LITTLE BROTHER ANYMORE!"

Pintu ruangan terbuka, menyadarkan Al pada keterkejutannya.

Hasan yang tidak tahu apa-apa merasakan kecanggungan dan aura mencekam dalam ruangan ini. Dia melihat putra kembarnya saling tatap namun tak bicara apa-apa. Yang satu berekspresi dingin, satunya lagi seperti orang terkejut akan suatu hal.

"Ada apa ini?"

Namun pertanyaannya barusan bahkan tak diindahkan oleh satupun dari mereka. El malah bicara pada Al lagi. Dan kalimatnya sungguh ambigu untuk Hasan.

"Kita udah sama-sama dewasa dan bisa selesain masalah kita sendiri. Jadi please...!"

Ruangan hening lagi, dua putranya saling tatap kembali.

"Ada yang bisa kasih tau ayah ada apa di sini?"

Sampai akhirnya Al berbalik, mengambil ranselnya dari sofa.

"Al pulang dulu," pamitnya pada Hasan, lalu langsung meninggalkan ruangan.

Hasan pun mendekati putranya yang lain, yang sedang berbaring di atas brankar rumah sakit. Dia nampak kesal, bahkan bantal yang dibuat ganjalan kepalanya malah ia ambil dan kini ia gunakan untuk menutupi wajahnya.

"Kalau ada masalah itu diomongin baik-baik, pake kepala dingin."

"Hmm."

"Kayaknya ayah sedikit ngerti. Kamu merasa abang kamu terlalu posesif. Dia pasti tanya-tanya lagi soal kemarin."

Sekali lagi El hanya bergumam, bantalnya masih belum ia singkirkan dari atas wajahnya.

"Itu karena abang sayang sama kamu. Kamu juga pasti paham."

Sekarang barulah El menyingkirkan bantalnya dan berganti memeluk benda empuk tersebut.

"Tapi aku bukan adik kecilnya lagi, Ayah. Kalau dia mau seposesif itu, harusnya ke Haura atau Arsyan. Umur kita bahkan cuma beda beberapa menit doang. Tapi dia anggep aku seakan-akan dia lebih tua sepuluh tahun dari aku. Dia terlalu superior. Padahal mau gimanapun aku juga abang. Aku punya adik dua."

Different (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now