#39 Berhenti

702 127 13
                                    

-

"Ta, jangan pergi dong. Lo tetep di sini aja, bareng kita-kita." Gina dari seberang mengatakan itu, membuat aku tambah memikirkan kata-kata Mama.

Sebenarnya sekarang sudah tengah malam, pesta ulang tahun Mama baru saja selesai sekitar tiga jam yang lalu. Namun, sebuah tanda tanya besar yang tersisa akibat kata-kata Mama tadi membuat Gina dan Airin menelponku menggunakan panggilan grup saking penasarannya, tidak memperdulikan jarum jam yang sudah berhimpitan di angka dua belas.

"Rin, ngomong dong. Dita kan lebih suka nurutin kata-kata elo." Suara itu terdengar sedikit jengkel, Gina memaksa Airin untuk membujukku tetap tinggal. Dia tahu betul jika Airin memang andal mencari alasan-alasan rasional yang membuat lawan bicaranya bisa dengan mudah menyetujui setiap pendapatnya.

Cukup lama aku diam saja, menunggu apa yang akan dikatakan Airin. Hingga akhirnya sebuah suara dengan volume kecil terdengar darinya, "Sori, orang rumah udah pada tidur jadi gue harus bisik-bisik, takut pada kebangun." Katanya.

Airin melanjutkan, "Gue nggak ada niatan buat nahan elo kaya Gina, Ta. Semuanya terserah elo, gue yakin lo tahu apa yang paling baik buat hidup lo selanjutnya—"

"Rin, kok gitu!" Gina berseru memutus perkataan Airin, kedengarannya tidak terima Airin berada di jalur yang berbeda dengan dirinya.

"Gue tahu lo pengen banget lanjut kuliah, tapi Papa lo nggak ngijinin karena masalah biaya. Ini pendapat gue aja, tapi kayaknya lo lebih baik ikut Mama lo, dia pasti mau ngebiayain elo kuliah dan yang paling penting, dari yang gue liat dia memperlakukan lo dengan baik." Ujar Airin.

Perempuan itu kemudian beralih menanyai Gina yang diam setelah mendengar kalimat terakhir darinya, "Gin, kalo lo ada di posisi Dita lo yakin bakalan milih tetep di sini cuma gara-gara temen?"

Gina tidak mengiyakan, seolah baru saja sadar jika aku pergi yang aku tinggalkan bukan hanya teman-temanku. Tapi juga luka dan rasa malu karena perlakuan Papa. Selanjutnya temanku itu meminta maaf tanpa aba-aba, membuat aku dan Airin merasa geli.

"Jadi gimana, Ta?" Airin bertanya,

Aku tidak menjawab, memilih untuk menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku, berharap kain itu bisa menghalau segala hal-hal dingin yang aku rasakan. Ragu, sejujurnya aku merasa ragu untuk meninggalkan Papa. Membayangkan berpisah dengan sosok yang sudah bersamaku sejak kecil, berpisah dengan pemilik punggung rapuh yang sering ku lihat bergetar di tengah malam karena tidak kuasa menahan sepinya, aku rasanya belum sampai hati.

"Papa rasanya nggak bakalan ngijinin gue buat ikut Mama deh," aku akhirnya mengeluarkan suara, membuat alibi untuk menolak pendapat Airin. Tapi belum aku mendengar balasan dari teman-temanku, seseorang menarik selimut yang aku pakai. Membuatku terkejut bukan main.

Di sana berdiri sosok Papa, matanya melotot, terlihat memerah. Tangan besarnya menarik baju yang kupakai, memaksaku bangun dari tempat tidur sehingga bisa benar-benar berhadapan dengannya. Handphone miliku terlempar, suara benturannya dengan lantai cukup keras terdengar di suasana malam yang sepi itu, tapi aku tidak sempat untuk khawatir dengan kondisinya, sibuk dengan menjinakkan rasa takutku pada sosok Papa.

"Apa maksudnya ikut Mama? Selama ini kamu berhubungan sama dia?" Papa bertanya, terdengar jika dia tengah berusaha keras menekan marahnya. Mencoba bertanya dengan nada biasa padaku. Tapi meski begitu aku belum berhasil, rasa takutku padanya membuat bibirku kaku untuk sekedar mengeluarkan suara.

"JAWAB!" dia mulai membentak, selangkah dia maju ke hadapanku. Mendekat, lantas memegang kedua lenganku dengan begitu erat hingga membuatku refleks meringis. "Bukannya saya sudah bilang ke kamu buat nggak berhubungan sama dia? Dia ninggalin kamu, ninggalin kita!"

"Mama nggak pernah mau ninggalin aku, Mama cuma mau pergi dari Papa!" di sela ketakutanku aku menjawab padanya.

Tapi sayang, kata-kataku itu malah menyulut amarahnya. Membuat dia tanpa beban melayangkan satu tamparan keras ke arah pipiku. Aku tidak terjatuh, dia masih memegangi bahuku dengan kuat, menahan agar tubuhku tetap di posisi yang mudah dijangkau oleh pukulan ataupun tamparan yang siap dia layangkan selanjutnya. Namun aku tidak akan memberi dia kesempatan itu, aku mendorong lengan itu sekuat tenaga dengan sebelah tanganku sementara yang sebelah lainnya memegangi pipiku yang terasa panas.

Papa mendekat lagi, mencoba untuk melayangkan tangannya. Tapi aku sudah lebih dahulu berteriak tepat di depan wajahnya, menghentikan tubuh itu untuk bergerak meski hanya satu senti. "BERHENTI!"

Teriakan itu, jika diingat kembali aku yakin sekali itu adalah yang pertama kalinya aku berteriak padanya—

.

.

.

Tbc
-
Jaehyun ga muncul dulu yak 👋

[✔] BF ▪Jaehyun▪Where stories live. Discover now