#43 Pengakuan

622 110 6
                                    

Sejak kecil aku tidak pernah bisa marah terlalu lama pada Papa, berpikir jika perilakunya yang kasar itu adalah akibat dari perginya Mama membuat aku menaruh rasa iba pada sosok yang telah membesarkan aku itu.

Perasaan tidak diinginkan, semakin dewasa aku mulai mengerti betapa mengerikannya hal itu, dan perasaan itu dirasakan oleh Papaku. Dia merasa menjadi sosok yang tidak lagi diinginkan oleh Mama setelah ditinggal pergi.

"Orang kaya Papa nggak cocok buat Mama ku."

Memikirkan kembali kalimat yang aku ucapkan padanya semalam membuatku merasa bersalah, apalagi ketika ia meninggalkanku tanpa kabar hingga malam ini. Aku tahu dia mungkin sekarang tengah berada di rumah temannya, sedang minum-minum sampai teler dengan alibi pengalihan dari beratnya dunia yang dia jalani.

Tapi tetap, rasa bersalah itu tidak bisa membuatku tidur dengan lelap sejak malam kemarin hingga malam ini. Papa bahkan tidak membawa serta motor ataupun jaket miliknya, aku tambah khawatir. Hingga kemudian ditengah lamunanku tentang sosok Papa, panggilan telepon masuk kedalam handphone milikku.

Nomor miliknya muncul di layar, membuatku dengan segera mengangkatnya, "Halo?" suara asing dari seberang telpon terdengar, membuat aku was-was jika sesuatu yang buruk mungkin terjadi dengan sosok pemilik handphone ini.

"Ya. Maaf saya berbicara dengan siapa?" Aku tanyaku.

"Ah, saya Taeil, Mbak. Anda anaknya bapak yang punya hp ini?"

—"Ini, bapaknya sejak tadi sore ada di depan pintu rumah tetangga saya. Ngetuk-ngetuk tapi nggak ada yang bukain pintu. Terus malah pingsan di depan. Tapi kayaknya cuma gara-gara mabuk, warga disini sedikit resah. Bisa saya minta tolong mbaknya buat segera ngejemput?"

Aku mengatakan 'iya' padanya, membuat sosok di seberang sana kemudian menyebutkan alamat tempat Papaku berada sekarang dan sedikit terkejut ketika sadar bahwa alamat itu adalah alamat rumah yang sedang Mama tempati.

Bergegas aku memesan taksi, tahu jika tidak mungkin membawa Papa pulang menggunakan sepeda motor. Tak butuh lama aku sampai disana, beberapa orang mengerubungi sosok Papaku sambil memberikan tatapan sinis padanya. Sepertinya merasa terganggu karena Papa yang mabuk tidak berhenti meraung sambil memukul-mukul dadanya.

"Maaf, permisi." Ucapku membuat perhatian orang-orang kini menuju pada aku. Sosok laki-laki yang sepertinya menjadi orang yang menelponku tadi menyerahkan handphone milik Papa padaku kemudian membantu aku membawa Papa masuk kedalam taksi. Sekali lagi aku meminta maaf pada warga yang ada di sana, tapi laki-laki bernama Taeil itu menenangkan aku. Mencoba membuat perasaan tidak enakku pada orang-orang itu sedikit reda.

"Nggak apa-apa Mbak, bapaknya pasti lagi banyak pikiran juga makanya sampai kaya gini." Katanya.

"Makasih Mas, sekali lagi maaf karena udah menganggu waktunya malam-malam gini." Kataku.

Setelah berpamitan aku masuk ke dalam taksi dan pergi dari sana, sedikit bersyukur karena Mama sedang tidak ada di rumah malam ini.

Di dalam taksi Papaku terus mendumel, sambil mengeluarkan suara kecil mirip tangisan. "Bocah itu selalu lebih sayang sama Mamanya." Kini dumelannya mulai terdengar jelas. Jarinya menunjuk langit-langit sebelum akhirnya ditariknya dengan keras menuju dadanya sendiri sampai menimbulkan bunyi yang keras.

Aku yang duduk di sampingnya meminta maaf pada sang supir sambil mencoba acuh, tapi kalimat yang diucapkan Papa selanjutnya membuat aku tidak bisa berbuat macam itu.

"Dita lebih suka sama Mamanya, perempuan j*lang yang udah ninggalin saya sama dia dibanding Papanya ini. Papanya yang udah ngebesarin dia dan ngasih dia makan."

—"Dita suka Mamanya lebih dari siapapun, waktu kecil tiap ditanya siapa idolanya dia selalu jawab nama perempuan itu. Dia selalu ngoceh soal Mamanya yang cantik, di SMP dia tetep ikut ekstrakulikuler prakarya biar bisa ngerangkai bunga kaya Mamanya walaupun saya udah mukulin dia tiap kali ngeliat dia bawa bunga."

Suara pukulan pada dadanya terdengar lebih keras dari sebelumnya, membuat aku yang ikut sakit mendengar kata-katanya mencoba meraih tangan besar yang jari-jarinya begitu kasar karena dipenuhi kapalan. Dari tangan itu aku tahu, dia sudah amat bekerja keras.

Mata sayu itu menatap aku, "Salah saya apa? Saya cuma punya mereka berdua di hidup saya. Tapi mereka sama-sama mau ninggalin saya. Orang yang saya sayangi semuanya ninggalin saya." Mata Papaku mengalirkan air mata.

Untuk pertama kalinya aku melihat sosoknya yang tengah menangis dari depan dengan jelas, bukan lagi mengintip diam-diam punggungnya yang gemetar. "Orang tua saya bilang, sebagai laki-laki saya nggak boleh lemah biar nggak ditinggalin orang lain. Tapi kenapa jadi keras, jadi kasarpun saya tetap ditinggal pergi?"

Aku diam hingga taksi yang kami naiki sampai di depan rumah. Setelah membayar ongkosnya aku masuk kedalam rumah sambil menuntun Papa kedalam kamarnya. Tubuh Papa yang sudah kalah dengan kantuknya itu aku baringkan ke tempat tidurnya.

Aku duduk di sisi tempat tidur sambil menatap wajahnya. Memang, Papaku tidak pintar dengan kata-kata. Dia juga tidak pandai memohon, ataupun mengucapkan mantra spesial itu.

Maaf,

Papaku tidak suka kelihatan lemah, dia lebih suka dilihat sebagai monster di depan aku ataupun Mama. Maka dari itu aku tidak bisa lagi tahan padanya, karena seberapa lamapun aku tinggal disisinya dia tidak akan berubah untuk menurunkan egonya.

"Sama kaya Papa yang nggak bisa ngeluluhin ego, Dita juga punya hal yang nggak bisa lakuin."

—"Dan bertahan sama orang yang udah nyakitin Dita adalah salah satunya." Aku lantas bangkit untuk keluar dari kamarnya. Tapi sebelum itu kembali melanjutkan kalimatku yang entah apakah didengarnya atau tidak.

"Tapi walaupun begitu, Dita tetap berharap kalian lebih bahagia setelah ini."

.

.

.

Tbc

_
Poin terpenting dari kalimat Dita yang terakhir ada si kata 'kalian'

Kalian tau maksudnya ❔

[✔] BF ▪Jaehyun▪Where stories live. Discover now