#46 Pergi [2]

641 125 4
                                    

Malam itu hanya ada aku di rumah, di tengah suara bising dari rumah sebelah aku duduk sendirian di ranjangku, sementara papa masih ada di kantor. Lembur katanya, entah apakah dia benar-benar lembur atau itu hanya jadi alasannya untuk tidak melihatku lagi, aku tidak tahu. Karena setelah pertemuannya dengan mama, papa benar-benar berhenti menaruh perhatian padaku, tidak mengacuhkan aku meski dalam beberapa kesempatan kami berpapasan.

Tidak ada lagi omelan, tidak ada lagi sakitnya bekas pukulan, dia benar-benar totalitas ketika mengabaikan aku. Maka dari itulah aku juga berhenti peduli, menganggap mungkin hal ini adalah yang terbaik untuk kami. Tapi 'menghilangnya' sosok papa yang lama tidak lantas membuat malamku menjadi lebih tenang. Dari samping rumahku, suara-suara yang tidak mengenakkan untuk di dengar mengudara meski aku sudah berusaha untuk tidak menaruh perhatian.

Jaehyun, laki-laki itu kembali berada di situasi mencekik. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuknya, paling-paling hanya menunggu handphone miliku berdering lantas mendengarkan curhatannya dengan cermat. Seperti yang biasa aku lakukan untuknya.

Namun, bahkan ketika suara-suara berisik dari samping rumah sudah tidak lagi terdengar, layar handphone milikku tetap dalam keadaan mati. Sepuluh menit sudah berlalu, dan masih tidak ada panggilan dari Jaehyun. Aku jelas tidak bisa untuk tidak khawatir, maka dari itu aku berinisiatif untuk menelponnya duluan, merasa perlu menanyakan keadaannya sehingga aku bisa masuk ke alam mimpiku dengan tenang.

Sambil menunggu panggilanku diangkat, aku bergerak turun dari ranjang. Berjalan ke arah jendela kamarku kemudian membukanya. Suara berderit terdengar bersamaan dengan datangnya hembusan angin malam yang dengan lembut menampar wajahku. Di seberang, sosok Jaehyun terlihan melamun sambil menatap ke arah jendela kamarku, tapi wajahnya lantas berubah ketika tatapan kami bertemu.

Sudut-sudut bibirnya terangkat, mengabaikan warna merah samar di pipinya yang berlesung, terlihat menyedihkan. Suara operator dari handphone ku terdengar di tengah sunyinya malam itu, membuatku jadi sadar untuk mematikan panggilan. Barulah setelahnya aku sibuk menjatuhkan perhatianku pada sosok Jaehyun, menelisik tiap sudut wajah tampannya yang lebam di sana-sini.

Bibir Jaehyun bergarak-gerak, mengucapkan sebuah pertanyaan.

Belum tidur?

Aku menggeleng, membuat dia kembali menggerakan bibirnya.

Nggak bisa tidur gara-gara ngedenger omelan nyokap gue, ya?

Setelah mengatakannya Jaehyun terkikik sendiri, tapi setelahnya tatapannya berubah sedu.

Ta, Maafin gue, ya?

Alis mataku refleks saja menyatu melihat gerakan bibirnya yang mengucapkan hal itu, hatiku terasa diremas begitu kencang melihat tatapan Jaehyun. Laki-laki itu sudah amat sering mengucapkan permintaan maaf, meski kebanyakan permintaan maaf itu hanyalah basa-basi semata. Tapi malam ini, aku merasa Jaehyun benar-benar serius ketika mengatakannya.

Aku jadi mengingat hal penting apa yang membuatku menunggu Jaehyun hingga larut begini. Kalimat perpisahan, harusnya aku mengatakan hal itu pada Jaehyun. Tapi permintaan maaf darinya yang kelihatan begitu tulus membuat perasaan ragu itu kembali datang.

"Cuci muka, terus istirahat biar luka lo cepet sembuh." Kataku.

Jaehyun mengangguk, dan aku adalah orang pertama yang undur diri. Kembali menutup jendela kamar kemudian bersembunyi agar tidak melihat wajah Jaehyun.

Kepindahanku ke Semarang bukan seperti hal besar yang perlu dikhawatirkan berlarut-larut, aku masih bisa berkunjung ke sini untuk menemui Jaehyun, atau jika beruntung mungkin Jaehyun bisa menyisihkan sedikit rasa sudinya untuk menemuiku di sana. Jadi kupikir tidak perlu terlalu terburu-buru untuk memberi tahunya malam ini. Aku masih punya waktu sampai besok, jadi malam ini biarlah Jaehyun beristirat dengan tenang.

Namun sayangnya, banyak hal di dunia ini yang terjadi tidak sesuai dengan bayangan kita.

Besoknya aku tidak bisa menghubungi Jaehyun sejak pagi, rumah laki-laki itu sepi. Hanya tersisa Bi Ratih yang ada di sana ketika aku datang untuk mencari Jaehyun. Sosok wanita paruh baya itu bilang, Jaehyun, Lucas dan nyonya rumah itu sudah pergi beberapa waktu lalu, dan kelihatannya aku benar-benar tidak punya kesempatan untuk berpamitan pada sosoknya.

Kembali aku memantapkan diriku, kepindahanku ke Semarang bukanlah hal besar, aku masih bisa berkunjung ke sini sewaktu-waktu. Jaehyun juga pasti berpikir begitu. Jadi kenapa aku harus begitu khawatir hanya karena akan berpisah dengan Jaehyun?

Terlalu berlebihan.

Aku dan Jaehyun bukan lagi anak kecil yang selalu berkoar-koar jika kami tidak bisa dipisahkan. Kami berdua akan memiliki jalan kami masing-masing, memaksakan diri untuk selalu berdampingan hanya akan menghambat langkah kami.

Benar, kan?

Kami bukan anak kecil lagi, aku dan Jaehyun--

Lamunanku sejenak terputus ketika handphone milikku bergetar,

Itu panggilan dari Jaehyun!

Suara nafasnya yang tersenggal adalah hal pertama yang aku dengar, berikutnya suara lembut milik Jaehyun yang dikeluarkan terburu-buru mengikuti, membentuk sebuah kalimat tanya yang kembali membuat jantungku berdebar sakit.

"Ta, elo sekarang dimana?"

Langit sudah menghitam, di handphone angka-angka di sudut layar sudah menunjukan hampir jam sepuluh malam. Aku melihat ke arah mama, dan seakan wanita itu bisa membaca pikiranku dia menggerakan bibirnya.

Kita udah hampir sampai.

.

.

.

Tbc

_
bai-bai jaehyunn..
(/□\*)・゜

[✔] BF ▪Jaehyun▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang