28. Double Dinner With Gavin

111 22 64
                                    

Di depan sebuah kaca, Naila tengah menyisir rambutnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di depan sebuah kaca, Naila tengah menyisir rambutnya. Polesan lip tint menambah kesan fresh di wajahnya. Dengan bermodal kaos hitam dan celana jeans-nya. Dia berjalan menuju halaman belakang yang sudah dia siapkan. Semua hidangan makanan tertata rapi di atas meja, meskipun masakan itu bukan buatannya sendiri melainkan Bi Ijah yang membuatnya.

Namun, hal itu sama sekali tak menurunkan rasa semangatnya. Naila lebih memilih untuk tidak memasaknya sendiri, sebab nantinya pasti Gavin akan meledek rasa makanan yang dia buat. Jujur, dalam bidang memasak sekalipun, lagi dan lagi Gavin lebih unggul darinya. Pernah dia merasa insecure dengan hal itu, tetapi rasa itu hilang ketika dia mendengar perkataan Gavin kala itu.

"Vin, masakan lo enak juga, ya," celetuk Naila sambil melahap rendang buatan Gavin.

"Jelas dong!" Gavin merasa bangga pada dirinya sendiri.

Waktu itu, mereka masih menginjak bangku tingkatan terakhir SMP. Di mana mereka menghabiskan waktu bersama di rumah Naila, setelah ujian nasional selesai dilaksanakan.

"Gue jadi insecure sama lo. Lo serba bisa, bahkan masak pun yang kebiasaannya cewek gue aja nggak bisa. Kalah sama lo yang cowok."

"Bukan nggak bisa, Nai, tapi belum bisa. Ya mungkin suatu saat lo juga bakalan bisa. Intinya lo nggak boleh insecure, setiap orang pasti ada plus minusnya. Lo harus yakin sama kemampuan lo dan jangan sampe banding-bandingin kayak tadi."

"Iya deh, iya! Makasih, ya, Vin. Gue akan inget tuh kata-kata lo barusan."

Lamunan Naila terbuyarkan begitu mendapati Gavin yang lebih dulu berada di halaman belakang rumahnya. Padahal jam tujuh masih sekitar lima belas menit lagi.

"Kok udah di sini aja lo, Vin."

"Yoi, keburu laper gue. Lo siapin ini semua buat gue 'kan?" tanya Gavin.

"Iya lah! Siapa lagi kalau bukan lo, tapi yah seperti biasa. Semua makanan ini Bi Ijah yang masak," jawab Naila.

"Santai aja, Nai. Gini aja gue udah seneng. Oh, ya, lo gak mau duduk nih?"

Naila lantas berjalan menuju kursi di depan Gavin lalu duduk. Baik Naila maupun Gavin sama-sama terdiam, ditemani embusan angin malam dan lagu yang berjudul halu.

"Kok gak dimakan?" tanya Gavin dan Naila bersamaan.

"Nunggu lo lah. Ya kali gue sebagai Tuan rumah yang baik hati, ramah dan tidak sombong ngedahuluin. Lagian lo bilang tadi laper, hah!" ketus Naila.

"Nih gue makan. Buruan lo juga makan." Gavin mulai memasukkan sesendok nasi beserta lauknya ke dalam mulut.

Naila yang melihat itu lantas tersenyum, sebelum akhirnya dia memakan makanannya.

Malam itu, mereka awali dengan makan malam bersama. Tak ada percakapan sama sekali, karena keduanya fokus pada makanan masing-masing. Namun, saat Gavin telah menghabiskan makanannya, dia justru menyentil dahi Naila agar tersadar dari lamunannya.

"Apaan, sih, Vin!" Naila menyentuh dahinya sendiri sambil melotot ke arah Gavin.

"Lo ngelamunin apa, Nai? Asik bener kayaknya."

"Mana ada ngelamun asik!"

"Lah tuh buktinya gue perhatiin lo betah banget ngelamun, sampe tadi tuh sendok mau lo masukin ke hidung bukan mulut."

"Wah! Ketahuan ya lo dari tadi perhatiin gue." Naila mendekatkan wajahnya pada Gavin, lalu menarik hidung mancung di hadapannya.

"Ya karena lo ada di depan gue."

"Emang kalau misal orang lain yang ada di depan lo, lo bakalan perhatiin kayak tadi?"

Gavin sempat terdiam. Memikirkan kata-kata yang cocok untuk dia keluarkan. Walau akhirnya dia memilih untuk mengalihkan pembicaraannya.

"Nai, ini makan doang nih? Gak ada yang lainnya?" tanya Gavin.

"Ya emang gini doang. Emang lo maunya apa?"

"Gimana kalau kita nonton?" usul Gavin.

"Ah, bosen! Mending tidur."

"Emang jam segini lo udah bisa tidur? Biasanya aja jam satu lo nelepon gue, ngerengek bilang gak bisa tidur."

"Itu kan dulu pas SMP, sekarang jarang kan? Atau jangan-jangan lo yang kangen gue telepon jam segitu?"

Lagi-lagi Gavin kehabisan kata-kata. Sejak tadi, Naila selalu menyudutkannya. Beruntung otaknya tiba-tiba bekerja untuk membalas Naila.

"Kok lo diem? Jangan-jangan emang bener, ya?"

"Nggak tuh, biasa aja. Ekhem! Tumben lo pake lip tint, Nai. Malem-malem gini lagi, padahal cuma mau ketemu sama gue."

Gavin memulai aksinya untuk membalas Naila yang sedari tadi membuatnya kehabisan kata-kata.

"Apaan sih! Ini gue pake karena tadi bibir gue pucet banget. Gak enak dilihat intinya lah, ntar yang ada lo muntah lihat wajah gue."

"Yakin nih? Aslinya lo mau keliatan cantik kan di depan gue?"

"Ma-mana mungkin."

"Jujur aja, Nai."

Saat Naila hendak berkata, Gavin justru mendekatkan wajahnya ke arah Naila. Semakin dekat, membuat mereka bisa merasakan deru napas masing-masing. Hingga akhirnya, Gavin mengelus alis kiri Naila dan menjauhkan kembali pandangannya.

"Lagian, Nai lo kosongan aja udah cantik. Ngapain pake itu segala," ujar Gavin.

"Kosongan? Lo kira gue bakso, hah?"

"Ho'oh bakso. Tuh pipi lo makin hari makin berisi soalnya."

"Udah ah, sana lo pulang. Gue mau ke kamar. Capek ngomong sama lo!"

"Gitu aja ngambek. Dasar lo, Nai."

"Salah lo lah! Pake ngatain gue kayak bakso lagi."

"Eh, tapi ngomong-ngomong soal bakso. Lo mau gak makan bakso? Gue traktir nih."

Naila berbalik badan menghadap Gavin dengan kedua mata yang berbinar, tetapi detik setelahnya dia sadar. Jika baru saja menghabiskan makanannya.

"Lah, baru aja tadi makan. Besok aja lah."

"Sekarang aja, Nai. Masalah lo masih kenyang ntar kita seporsi berdua deh. Gimana?"

"Gak jadi kenyang! Kuy lah berangkat!"

Keduanya memutuskan untuk pergi memakan bakso. Malam ini benar-benar mereka menghabiskan kebersamaannya untuk kesekian kalinya, dengan dinner double berdua.

.
.

Jangan lupa tinggalkan jejak buat kenang-kenangan. 😂

Terima kasih juga buat kalian yang udah Vote & Coment di cerita ini.

Terima kasih juga buat kalian yang udah Vote & Coment di cerita ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Ganai Where stories live. Discover now