"Terima kasih telah mewarnai hari yang penuh dengan monokrom ini, dengan berjuta warna yang ada."
~Naila Arasya Bastindria
Selamat membaca semua, semoga suka dengan cerita ini.
.
.Mengingat kejadian semalam, membuat Naila bergidik ngeri, untung saja dia bersama Gavin bisa lepas dari orang gila itu. Sebenarnya dia pribadi tidak menyalahkan adanya orang gila, lagipula sama-sama berwujud manusia dengannya, hanya saja dia sedikit trauma.
Pukul 06.00 WIB, Gavin sudah menunggunya di depan rumahnya, biasanya kalau hari libur mereka selalu jogging pagi bersama, memang sih, hari ini hari Kamis dan ini merupakan hari kedua skorsing mereka.
Dengan balutan kaos navy dan jogger pants nya, serta handuk kecil yang menggantung dilehernya, Gavin mulai melakukan pemanasan sambil menunggu Naila keluar dari rumah.
"Vin, berangkat!" Naila datang dengan kaos yang senada dengan Gavin, hanya saja kali ini dia memakai celana ketat selutut itu.
"Gak biasanya lo pake celana pendek, Nai?"
"Serah gue," ketus Naila sebelum dia mulai berlari meninggalkan Gavin.
Walaupun Naila lari lebih duluan, tetap saja Gavin bisa mensejajarkan posisinya di samping Naila.
"Nai, lo mau mampir ke bubur ayam Pak Adin? Gue traktir deh gimana?" tanya Gavin memecah keheningan di sela-sela larinya.
"Gak usah, Vin."
Gavin heran dengan sikap Naila sejak pagi tadi, tidak biasanya dia menolak tawarannya perihal traktiran. Di tambah wajahnya yang terlihat masam dan lebih banyak terdiam.
Secara tiba-tiba, Naila merasakan tangannya ditarik oleh orang di sebelahnya, dia Gavin yang menariknya lalu mendudukkan dirinya di bangku bawah pohon rindang itu.
"Cerita sama gue, lo lagi ada masalah apa?" tanya Gavin to the point.
"Gak, perasaan lo aja kali."
"Nah kan, lo jutek gitu."
"Udah deh, Vin. Mending kita lanjut lari." Lagi dan lagi tangan Naila dicekal oleh Gavin.
Gavin bangkit dan berdiri tepat di hadapan Naila seraya berkata. "Nai, cerita sama gue." Naila spontan memeluknya.
Air mata yang sedari tadi ditahan oleh Naila, lolos begitu saja dari tempatnya. Yap, dia menangis dalam pelukan Gavin. Untung saja komplek ini masih sepi. Jadi, tak ada yang melihatnya.
"Gue mimpi itu lagi, Vin," ungkap Naila.
"Gue udah ngira."
Sebelas tahun yang lalu, tepat di mana kejadian menyedihkan itu terjadi, saat ketika Riana—mama Naila meninggalkan Naila. Entah apa itu alasannya, sampai sekarang pun dia belum mengetahuinya. Karena memang waktu itu Naila masih terlalu kecil untuk mengetahui urusan orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ganai
Teen FictionKetika kita dipertemukan dengan yang namanya "sahabat" sejak kecil. Hal itulah terjadi pada Gavin dan Naila. Mereka ditakdirkan bersama sejak kecil, suka dan duka sering kali mereka lewatkan bersama. Namun, saat mereka beranjak remaja. Akankah persa...