"Melihat senyum dari bibirnya, seolah itu adalah sesuatu yang indah. Meski senyum itu tercipta karena orang lain."
~Gavin Sanjaya Putra
Selamat membaca semua, semoga suka dengan ceritaku ini.
Di dalam sebuah kamar bernuansa monokrom, terdiam seorang cowok dengan balutan jaket tebal. Entah kenapa sejak mengabaikan Naila, membuat Gavin merasa bersalah.
Hening. Itulah yang mendeskripsikan suasana kamar ini. Hinga terdengar suara knop pintu yang berdecit. Ternyata itu adalah Gina dan Nadira-kakaknya.
Nadira Khusuma Putri, kakak kandung Gavin yang berusia 25 tahun. Berprofesi sebagai dokter muda dan mendapatkan tugas untuk bekerja di luar kota—membuatnya jarang berada di rumah. Namun, kali ini dia mengambil cuti untuk bisa bertemu keluarganya.
"Gavin, tadi ada Naila di luar. Dia cariin kamu lagi," ujar Gina lembut.
"Lagian gue heran sama lo, kenapa lo milih rahasiain hal ini sama dia? Lo sama Naila udah sama-sama remaja, bukan anak kecil lagi. Mungkin kalau lo jujur sama dia, keadaan lo bisa pu—" sambung Nadira yang terhenti karena bekapan dari Gavin.
"Gavin udah kasih tahu alasannya 'kan?" Gavin tersenyum hangat ke arah Gina dan Nadira, "bisa tinggalin Gavin sendiri?"
Sepeninggal Gina, dan Nadira. Kini hanya tersisa Gavin di dalam, bersama selimut yang kini menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah. Udara sore yang semakin dingin, membuatnya meraih remote AC di nakas, lantas mematikannya.
Jarum jam terus berputar, waktu terus berjalan. Tiba-tiba saja Gavin sudah terlelap dalam tidurnya. Padahal beberapa menit lagi masuk waktu maghrib.
Di sisi lain, Naila berjalan mondar-mandir di depan pintu kamarnya. Bahkan ekspresinya saat ini, tidak bisa diungkapkan. Keringat terus bercucuran membasahi area wajahnya. Padahal cuacanya dingin. Deru napasnya pun tak beraturan.
"Naila, Bi Ijah mau lewat," ujar wanita paruh baya dengan keranjang baju yang sudah disetrika itu.
Bi Ijah—asisten rumah tangga di rumah Naila. Naila sudah menganggapnya keluarga sendiri, oleh karena itu dia meminta Bi Ijah hanya memanggil namanya.
Naila hanya tersenyum tipis, lantas menyingkir. Dia berjalan menuruni tangga, dan melihat Bastin yang sedang minum kopi, lalu menghampirinya.
"Tumben cemberut gitu, Nai?" tanya Bastin.
"Lagi gak mood, Pah," jawab Naila lesu.
Tiba-tiba saja, Naila memeluk Bastin dengan sangat erat. Biasanya saja selalu menolak, dengan alasan kalau dia bukan anak kecil lagi.
"Pah, papa tahu gak Gavin kok kayak menjauh dari Nai?"
Uhuk-uhuk!
"Perasaan kamu aja kali," ujar Bastin menyakinkan Naila.
CZYTASZ
Ganai
Dla nastolatkówKetika kita dipertemukan dengan yang namanya "sahabat" sejak kecil. Hal itulah terjadi pada Gavin dan Naila. Mereka ditakdirkan bersama sejak kecil, suka dan duka sering kali mereka lewatkan bersama. Namun, saat mereka beranjak remaja. Akankah persa...