They different

4.1K 208 6
                                    

Seorang pemuda sedang duduk sendirian di sofa tunggu yang berada di dalam toko pakaian dengan brand ternama. Siapa lagi dia jika bukan Aiden?

Sesekali pandangan matanya mengikuti pergerakan dari dua orang gadis yang sedang asik berbelanja. Kedua gadis itu tampak sesekali tertawa, entah apa yang mereka tertawakan. Tanpa sadar sebuah senyuman terukir di wajah tampan mikiknya.

Dia sedang berpikir.

Oops, tidak. Lebih tepatnya, dia sedang membandingkan dua perempuan yang sama sama dia sayangi.

The first: Amaris, The beauty girl. Atau yang lebih suka dia akui sebagai Ammy-nya.

Amaris adalah gadis yang cantik. Kelewat cantik hingga Aiden selalu terpana oleh senyuman dari gadis itu. Bagi Aiden, Amaris adalah tipe yang sempurna untuk dijadikan pasangan. Pembawaannya yang kalem, anggun, dan keibuan selalu berhasil membuat pria manapun akan terpikat oleh pesonanya, termasuk juga Aiden.

Amaris adalah putri tunggal dari paman Archie dan bibi Tamara, asisten pribadi kedua orangtuanya. Keluarga mereka tinggal satu rumah dengannya sejak dulu, bahkan sejak mereka berdua belum lahir.

And then, Gadis itu adalah seorang model. Sangat sesuai dengan dirinya yang cantik itu kan?

Amaris merintis dunia permodelan sejak berada di bangku Senior High School dan berlanjut hingga sekarang. Dia bahkan sudah beberapa kali menyabet penghargaan dan memiliki kontrak dengan banyak brand ternama di dunia.

The second: Irish. The sassy girl.

Irish tak kalah cantik dengan Amaris, Aiden mengakui itu. Irish juga sama baiknya dengan Amaris. Hanya saja Irish lebih sering berbuat onar.

Gadis itu adalah tipe gadis yang bebas dan memiliki rasa penasaran yang tinggi. Dia sama sekali tidak anggun seperti Amaris. Oh, bahkan Irish menguasai berbagai macam jurus beladiri, bisa menunggang kuda, dan pandai menggunakan beberapa macam senjata.

Sejak kecil gadis itu memang berambisi untuk menjadi seperti ayahnya--paman Tylor--yang menjadi pasukan rahasia. Bahkan di saat Aiden dan Amaris pergi ke sekolah formal, Irish justru tidak mau bersekolah dan lebih memilih untuk berlatih beladiri dan senjata. Meski Irish tidak bersekolah, namun kepandaian gadis itu tidak bisa diragukan.

Irish dan orangtuanya juga tinggal di rumah Aiden. Hanya saja mereka tinggal di paviliun yang berada di sayap kanan rumah.

Brugh!

Berbagai hal yang berada di kepala Aiden seketika hilang tak berbekas saat dia melihat Irish terjatuh di lantai. Beberapa paper bag yang dia bawa juga terjatuh, namun Amaris membantunya.

Langkah Aiden tergesa menghampiri kedua gadis itu. Dia sudah tidak terkejut lagi jika sesuatu hal yang seperti ini terjadi pada Irish. Sudah Aiden katakan, Irish tidak pernah bisa diam. Gadis itu terlalu banyak tingkah.

"Apa sekarang kau sudah menjadi buta, Irish?" Aiden memasang ekspresi paling menyebalkan yang membuat Irish berdecak malas.

"Jika tidak mau membantu kembalilah ke tempatmu, Aiden. Aku sudah punya Amaris yang akan membantuku."

Tidak menjawab, Aiden membantu menarik tangan Irish untuk berdiri, sementara Amaris mengambil sisa paper bag yang terjatuh.

"Kau harus hati hati, Irish. Kau ini hobi sekali terjatuh. Apa kau tidak kesakitan?" Amaris memperingati. Dia selalu menjadi sosok malaikat diantara mereka bertiga.

"Heels ini merepotkan, Amaris. Kau tahu aku belum terbiasa."

"Aiden, bawa Irish untuk duduk. Aku akan mencarikan flat shoes untuknya. Oh, Irish.. Aku benar benar minta maaf karena sudah memaksamu memakai heels ini."

Irish tertawa.

Dia bukan tipe gadis pemarah--- pengecualian untuk Aiden. Irish tidak pernah bisa menjadi penyabar jika itu ada kaitannya dengan Aiden.

"Tidak apa apa, Amaris. Aku memang harus belajar untuk memakainya. Ibuku bahkan sudah berkali kali menceramahiku untuk mulai memakai benda benda yang sangat feminin seperti itu."

"Bibi Alisha benar. Kau ini perempuan jadi jadian atau apa?" Aiden menimpali dan langsung mendapat pukulan di bahunya dari Irish.

"Sudah, Aiden. Cepat bawa Irish ke sofa."

Menuruti ucapan Amaris, Aiden membawanya ke sofa tempatnya duduk tadi, sementara Amaris pergi untuk mencari sepatu.

Hal mengejutkan yang terjadi adalah, Aiden berjongkok di depan kaki Irish, melepas heels gadis itu, dan memijit kakinya perlahan.

Apakah Irish tersentuh? Jelas... Tidak!

Impossible!

Cih! Irish pasti sudah gila. Minimal harus terjadi kesalahan terlebih dahulu di otaknya sebelum Irish bisa merasa tersentuh oleh perbuatan Aiden.

Lihat saja, hal yag dilakukan Irish justru menendang tangan Aiden, membuat pria itu meringis kesakitan.

Hei! Aiden tidak berbohong. Irish adalah perempuan jadi jadian, ingat? Dia punya tenaga yang setara dengan tenaga laki laki.

"Holly shit, Irish!" Aiden mengumpat sambil menatap Irish nyalang, penuh persaingan.

Irish membalasnya dengan senyuman miring. "Kau terlalu berlebihan, Aiden. Aku bahkan tidak merasa kesakitan sama sekali. Jadi kau tidak perlu memijit kaki ku. Aku pernah jatuh yang lebih parah dari yang tadi itu."

Hoity toity.

Sombong, seperti biasanya. Sangat Irish sekali.

Aiden mendengus dan bangkit untuk duduk di samping Irish. "Kalau tidak mau dibantu ya sudah. Dasar menyebalkan!"

Irish tertawa, sungguh!

Dia selalu merasa puas jika sudah melihat Aiden kesal seperti itu.

"Kau juga menyebalkan, Aiden. Aku tidak menyukaimu."

"Tidak masalah. Aku menyukai Ammy, bukan kau."

"Dasar pria malang. Sayangnya gadis yang kau sukai itu sudah memiliki seorang kekasih. Teruslah kau menyukainya sampai kau tua dan mati membusuk karena cinta bertepuk sebelah tanganmu itu."

Seketika Aiden terdiam. Raut wajahnya berubah murung. Ia ingin membantah, namun apa daya? Memang begitu kenyatannya. Sial! Kali ini Irish yang menang.

Menyadari perubahan dari Aiden, Irish merasa sedikit bersalah. Dia lupa bahwa topik tentang kekasih Amaris adalah topik yang selalu Aiden hindari.

"Aiden.. Aku.. Minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk--"

"Biarkan saja, Irish. Ucapanmu memang benar." Aiden memutus kalimat Irish.

"Tidak, Aiden. Aku tahu aku kelewatan. Aku..."

"Ssttt..." Aiden meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Irish, meminta gadis itu untuk diam.

"Aku tidak apa, Irish. Tidak perlu meminta maaf. Bukankah kita memang sudah sering bertengkar? Ya.. Kau memang selalu kelewatan. Tapi aku sudah terbiasa. Dan masalah Ammy bukanlah masalah yang besar untuk ku."

Aiden tersenyum dan menarik Irish untuk masuk ke dalam dekapannya. Kali ini Irish tidak menolak.

Begitulah mereka.

Yang tidak pernah akur, namun saling menyayangi di waktu yang sama. Tumbuh bersama telah membuat mereka saling mengerti dan memahami.

"Kau menyebalkan, Irish. Tapi aku tidak pernah bisa marah padamu, tidak untuk alasan apapun. Kau dan Ammy memang berbeda. Tapi bagiku kalian tetap sama. Aku memang benar menyukai Ammy dalam artian lain. But still, you're precious for me too."

Apakah hubungan mereka rumit?

Oh, entahlah.





The SASSY GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang